Brilio.net - Penyebaran virus corona selama ini sangat meresahkan masyarakat. Penyakit akibat virus corona dikenal sebagai penyakit self limiting disease, yang artinya daya tahan tubuh akan sangat menentukan seseorang bisa terpapar virus tersebut atau tidak. Oleh sebab itu, dari awal munculnya kasus virus corona di Indonesia, pemerintah mengimbau masyarakat untuk menjaga kesehatan dengan memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan seperti dengan mematuhi protokol kesehatan. Beberapa protokol yang wajib dilakukan oleh masyarakat adalah dengan memakai masker setiap keluar rumah, rutin mencuci tangan dengan sabun di air yang mengalir, hingga berjaga jarak dengan orang lain.

Selain dengan mematuhi protokol kesehatan, masyarakat juga diimbau untuk menjaga daya tahan tubuh dengan mengonsumi makanan atau minuman yang bernutrisi. Dari sini, muncul keyakinan di tengah masyarakat bahwa makanan atau minuman herbal yang terbuat dari rempah dapat menangkal penyakit dan menyembuhkan infeksi virus corona.

Petani rempah saat pandemi © 2020 brilio.net

foto: brilio.net/Shofia Nida

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam situs resminya menjelaskan, di mana pengobatan tradisional mungkin meringankan gejala Covid-19, tetapi belum ada penelitian yang menunjukkan pengobatan tersebut dapat mencegah atau menyembuhkan penyakit akibat Covid-19.

Sejak merebaknya keyakinan akan manfaat olahan herbal terhadap tubuh di masa pandemi, masyarakat semakin antusias untuk meningkatkan sistem imunitas dengan mengonsumsi makanan atau minuman herbal yang berasal dari olahan rempah. Hal ini rupanya memberi dampak positif kepada pelaku usaha di bidang rempah, seperti petani rempah, penjual minuman herbal, atau penjual jamu. Berdasarkan penelusuran brilio.net pada Senin (9/11), beberapa penjual olahan rempah mengakui omset penjualan meningkat sangat drastis. Hal tersebut dikarenakan antusiasme warga yang ingin mengonsumsi olahan rempah sangat tinggi.

Omset penjualan pemilik kedai minuman berbahan dasar rempah meningkat drastis.

Seorang penjual minuman herbal di Kudus, Jawa Tengah misalnya, ia mengakui kedai minuman herbal Jahe Rempah Mbah Tolok miliknya mengalami kenaikan omset penjualan sekitar 30% sejak 14 Maret 2020.

Petani rempah saat pandemi © 2020 brilio.net

foto: brilio.net/Shofia Nida

"Aku buka, terus ada corona lah itu mudah banget buat promosi. Tapi habis itu sulit berjalan karna jam 8 (malam) sudah disuruh tutup. Ngefek banget. Aku buka ini bukan karena corona sebenernya karna sudah jauh-jauh hari. Soalnya gini, aku lihat di Kudus tuh gak ada tongkrongan buat orangtua. Ada, tapi minim banget," jelas Danang pemilik kedai Jahe Rempah Mbak Tolok.

Danang Bayu Setyawan merupakan pengusaha muda berusia 24 tahun, ia memberanikan diri untuk membuka kedai Jahe Rempah Mbah Tolok setelah dirinya lulus kuliah pada 2020 lalu. Di kedai tersebut, Danang menyediakan minuman dengan bahan dasar jahe dan rempah-rempah lainnya seperti kencur, kunir, temulawak, dan lain sebagainya.

Petani rempah saat pandemi © 2020 brilio.net

foto: brilio.net/Shofia Nida

Dari menu-menu tersebut, yang paling diminati oleh pembeli adalah jahe rempah susu dan jahe rempah. Jahe rempah terdiri dari jahe, kencur, kunir kuning, kunir putih, temulawak, temu mangga, serai dan jeruk nipis.

"Awal ya lumayan lah, trus naik naik naik, trus semenjak musim hujan ini, turun," kata Danang.

Dirinya juga mengaku kapasitas tempat duduk di kedainya juga memengaruhi omset penjualan, jika dia bisa menyediakan tempat duduk dan meja dengan maksimal, maka keuntungan yang didapat juga akan bertambah.

"Untuk naiknya tergantung kapasitas mbak menurutku, ya naik ada 30% lah," lanjutnya.

Karena sasaran pasar dari Jahe Rempah Mbak Tolok adalah orang-orang tua, maka banyak orang tua yang datang dan nongkrong di kedainya. Danang menjelaskan, pelanggannya biasanya dari usia 25 tahun ke atas.

Dengan adanya pandemi corona, banyak pula orang tua yang datang ke kedainya dengan menanyakan menu yang pas untuk kondisi yang sedang ia rasakan seperti meriang, batuk, pilek, dan pegal linu. Biasanya, Danang akan memberikan ramuan jahe, kencur, dan jeruk nipis untuk orang yang sedang pilek dan batuk. Salah seorang pelanggan mengatakan, dirinya merasakan tenggorokannya lega setelah mengonsumsi minuman rempah.

"Saya nyoba jahe alang-alang, jahe itu kan bisa bikin tenggorokan lega, kebetulan lagi batuk. Sekarang batuk pilek dikit jadi parno takut corona, jadi minum yang herbal aja yang alami," kata Rahma salah satu pengunjung kedai.

Dalam sehari, Danang bisa menghabiskan 10 kg jahe untuk produksi minumannya. Setiap 2 hari sekali, ada pemasok jahe yang datang untuk memenuhi stok jahe di kedainya. Sementara untuk bahan rempah lainnya, Danang harus membelinya di pasar terdekat.

Petani rempah saat pandemi © 2020 brilio.net

foto: brilio.net/Shofia Nida

Danang menjual minuman rempahnya mulai harga Rp 4 ribu sampai Rp 9 ribu. Danang akan menyajikan minuman rempahnya dalam 2 varian. Sajian dengan gelas untuk yang mereka yang menikmati minuman di tempat dan varian cup ukuran 400 ml.

"Anggap saja dulu (sebelum corona) seminggu 800 gelas, setelah corona booming bisa mencapai 1500an perminggu," jelas Danang.

Petani rempah tuai berkah.

Hal yang serupa juga dirasakan oleh petani dan pemasok rempah di Kabupaten Kudus. Ismail (38), petani rempah asal desa Kandangmas, Dawe, Kudus ini merasa pandemi ini justru membawa berkah bagi usahanya.

Ismail sudah menjadi petani rempah selama 15 tahun, dengan awal mula hanya menanam kencur di lahan dengan luas 1.400 meter persegi. Kini ia mulai menanam macam rempah lainnya seperti jahe dan lengkuas di lahan seluas 2 hektar.

Petani rempah saat pandemi © 2020 brilio.net

foto: brilio.net/Shofia Nida

Di musim pandemi ini, dirinya mengaku omsetnya naik drastis bahkan sampai 50%.

"Dampaknya itu apa ya, dampaknya ya omsetnya naik lah sampai 50%. Penghasilan 1 bulan bersih dulunya Rp 10 juta, sekarang sampai Rp 22 juta - Rp 25 juta," papar Ismail.

Ismail menjelaskan bahwa di awal pandemi terutama setelah muncul keyakinan di tengah masyarakat bahwa rempah memiliki manfaat untuk mencegah corona, banyak orang yang mencari rempah-rempah yang ia jual.

"Itu awal-awal (pandemi) sekarang dapetnya Rp 18 juta - Rp 19 juta kurang lebih," sambungnya.

Biasanya, Ismail menjual hasil rempah yang ia dapat dari lahannya sendiri dan dari petani lain, hingga ke luar kota seperti Semarang dan Magelang.

Petani rempah saat pandemi © 2020 brilio.net

foto: brilio.net/ Shofia Nida

"Tiap hari ke Semarang, Magelang, ke pasar-pasar, sebagian ada yang pedagang jamu. Sekali setor kurang lebih satu setengah ton," jelas Ismail.

Dari lahannya sendiri, ia hanya bisa panen 1 tahun sekali. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan rempah di pasar, dirinya mengambil rempah dari petani lain di sekitar Kudus, Malang dan bahkan Sumatera. Dengan luas lahan 2 hektar yang ia miliki, Ismail dapat memanen 10 ton kencur, 20 ton jahe, dan 10 ton lengkuas, dalam sekali panen.

Selain karena pandemi, naik turunnya harga rempah dipengaruhi oleh permintaan pasar dan juga cuaca. Jika permintaan tengah banyak, maka harga rempah akan turun, namun ketika cuaca memasuki musim hujan maka harga rempah akan naik.

Petani rempah saat pandemi © 2020 brilio.net

foto: brilio.net/Shofia Nida

"Ya kalo permintaannya banyak ya naik, karena cuaca juga bisa naik turun karena banyaknya barang juga bisa naik turun. Hujan gini biasanya harganya naik, banyak barang ya bisa turun, paparnya.

Ismail juga memaparkan harga dari jenis-jenis rempah seperti jahe, kencur, lengkuas dan lain sebagainya. Berikut data harga rempah per November 2020 ini.

Petani rempah saat pandemi © 2020 brilio.net

foto: brilio.net/Shofia Nida

Para pelaku usaha rempah di Kudus, Jawa Tengah membuktikan tetap bisa bertahan, bahkan sebagian pelaku usaha, hingga petani menuai berkah dengan meningkatnya penjualan. Harapannya, pandemi yang memukul banyak sektor dapat segera berakhir, pelaku UMKM terdampak segera bangkit dan bisa segera berinovasi, beradaptasi dengan baik akan kebutuhan pasar.