Brilio.net - Pemilihan presiden (Pilpres) 2019 baru akan dimulai 2 tahun lagi. Tapi dengung kampanye sudah terasa di tahun 2017 ini. Jokowi sebagai salah satu kandidat terkuat di Pilpres 2019 menjadi sorotan banyak media.

Bahkan media asing mulai menyorot. Salah satunya The Economist. Dalam artikelnya, The Economist, memandang Jokowi sebagai agen perubahan.

Media tersebut melihat tahun pertama Jokowi sebagai titik perubahan di Indonesia. Pada tahun itu, Jokowi menghilangkan subsidi BBM yang membebani keuangan negara, mengenalkan asuransi kesehatan yang menyeluruh, dan lain-lain.

Jika dilihat dari permukaan, popularitas Jokowi terlihat menjanjikan. Generasi milenial juga didekati oleh Jokowi. Dengan memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan YouTube, Jokowi mendokumentasikan kegiatannya sebagai presiden. Vlog Jokowi saat makan siang bersama Raja Salman viral di YouTube.

Video tersebut sudah ditonton lebih dari dua juta kali. Selain itu, kegiatan sehari-hari seperti bermain dengan cucunya juga menunjukkan keinginan Jokowi untuk dekat dengan generasi milenial.

The Economist mengutip hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada bulan September kemarin. Menurut survei tersebut, 50% dari responden akan memilih Jokowi di Pilpres 2019. Hal ini membuat jalannya Pilpres 2019 diprediksi akan berjalan dengan ketat. Ini lantaran 2014 kemarin Jokowi melenggang ke kursi nomor satu Indonesia dengan perolehan jumlah suara 53%.

 jokowi the economist © 2017 brilio.net

foto: merdeka.com

Vonis bersalah Ahok di pengadilan terkait kasus penodaan agama dilihat sebagai salah satu faktor yang menurunkan popularitas Jokowi. Kekalahan Ahok di pemilu Jakarta tahun 2017, walaupun banyak survei yang memprediksi kemenangan Ahok, jadi faktor minus dalam popularitas Jokowi.

Merebaknya gerakan menolak UU Ormas juga menjadi tamparan bagi Jokowi. Protes massa pada tanggal 29 September kemarin dijadikan acuan The Economist untuk melihat basis dari penolak Jokowi. Protes besar melawan UU ormas ini dilihat massa sebagai pengekang kebebasan berkumpul.

Menurunnya kekuatan ekonomi Indonesia menjadi PR untuk Jokowi. Menteri Perencanaan Pembangunan Bambang Brodjonegoro. mengatakan ekonomi Indonesia tidak akan maju jika infrastruktur dan SDM masih lemah.

"Terus terang kita butuh kerja keras untuk menjadi negara maju di masa datang. Indonesia jelas (butuh) banyak (pembenahan). Infrastruktur kita masih ketinggalan, kualitas SDM masih harus diperbaiki, anggaran harus dirapihin. Pokoknya kami perlu transformasi struktural," tegas Bambang dikutip dari Merdeka.

Selain The Economist, CNBC juga meragukan kemenangan mutlak Jokowi di Pilpres 2019. CNBC melihat bahwa lemahnya distribusi kekayaan di Indonesia mengakibatkan banyak permasalahan ekonomi. Bilveer Singh, profesor madya di National University of Singapore (NUS) mengatakan bahwa pemberantasan kemiskinan di Indonesia berjalan lambat. "Seharusnya penyebaran kemakmuran lebih dipentingkan untuk mencegah semakin melebarnya perbedaan pendapatan" ujarnya dikutip dari CNBC.

Walaupun seperti itu, Media Singapura, The Straits Times malah melihat tahun 2017 sebagai tahun kepopuleran Jokowi. Media tersebut mengutip lembaga survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang mengatakan dukungan publik pada Jokowi semakin menguat.

Dalam riset SMRC pada bulan september 2017, 57% dari semua responden mengatakan akan memilih Jokowi bila Pilpres diadakan pada bulan September. “Dalam 3 tahun terakhir, bagaimanapun simulasinya, elektabilitas Jokowi cenderung naik, dan belum ada penantang cukup berarti selain Prabowo. Prabowo pun cenderung tidak mengalami kemajuan," ujar Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC dikutip dari laman resmi SMRC.

Namun, The Straits Times menyebut, masih terlalu dini untuk melihat situasi Pilpres 2019. Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro mengatakan popularitas Jokowi tetap bergantung pada program nawacitanya. "Kesuksesan Nawacita adalah kunci yang menjamin Jokowi di pilpres 2019" tegasnya dikutip dari The Straits News.

 jokowi the economist © 2017 brilio.net

foto: merdeka.com

Langkah Jokowi untuk mendokumentasikan kegiatannya di media sosial memang efektif sebagai sarana komunikasi dengan warga, terutama generasi milenial. Jarang ada pejabat yang terbuka sehingga khalayak umum bisa melihat secara langsung kinerjanya.

Tapi tanpa hasil kerja yang nyata, Jokowi tak akan mudah melenggang guna meraih kursi RI 1 lagi pada 2019 mendatang.