Brilio.net - Pada 11 Januari 1974, Hariman Siregar dan beberapa mahasiswa mengutarakan kepada Presiden Suharto bahwa pembangunan itu harus ditunjukkan untuk golongan yang terbawah. Waktu itu, Hariman bersama mahasiswa lainnya mengingatkan contoh kasus yang terjadi di Pakistan, di mana negara itu meski tercatat pertumbuhan ekonomi hingga 8% tapi terjadi kesenjangan sosial antara Pakistan Barat dan Timur sehingga terpecah menjadi Bangladesh.

"Saya ingat, waktu itu saya berumur 23 tahun. Itu sebagai contoh kasus yang sangat kuat yang meyakinkan saya memang akar daripada permasalahan selama ini adalah kesenjangan sosial itu. Jadi pada hari ini setelah 44 tahun kemudian, kita juga mengalami atau merasakan hal yang sama yaitu pemetaan 20 tahun reformasi ini, reformasi yang kita lakukan tahun 1998," kata Hariman Siregar dalam sambutannya pada peristiwa 44 Tahun Malari dan 18 In-Demo di Gedung University Club UGM, Senin (15/1).

Bagaimana dengan kesenjangan sosial saat ini? Menurut Hariman Siregar, hingga saat ini Indonesia telah memiliki empat pemerintahan yang terpilih secara demokratis, tapi menurut pelaku sejarah Malari (15 Januari) ini masalahnya masih tetap sama.

Menurutnya kenapa hingga saat ini masih belum bisa menjawab soal kemiskinan, kesenjangan sosial, patut dipertanyakan juga. "Kenapa pembangunan kita terus menerus katanya tumbuh, tapi sasarannya justru memperkaya orang yang sudah kaya."

"Jadi kata teman saya, Max Lane, bilang dulu kita menuntut kesenjangan untuk diberantas menghapus kemiskinan pada rezim yang otoriter, reaksinya kita ditangkap dan tuntutan kita nggak tercapai. Sekarang kita menuntut kepada pemerintahan yang demokrasi, kita nggak diapa-apain tapi toh permintaannya nggak tercapai juga lho," tambahnya.

Fakta lain diungkapkan oleh Bhima Yudistira. Dosen muda UGM ini melihat tidak sinkronnya antara apa yang disampaikan oleh pejabat dan realita di tengah masyarakat. Daya beli petani turun drastis, itu berlangsung selama kurang lebih tiga tahun terakhir.