Brilio.net - Beberapa waktu belakangan banyak orang ribut dengan perdebatan mungkin atau tidaknya, ide Cagub DKI Jakarta Anies Baswedan bahwa orang memiliki rumah dengan DP 0%. Pro dan kontra pun mewarnai pembicaraan ini dari berbagai kalangan. Ekonom muda yang juga Komisaris Independen, PT. Bank Syariah BRI, Sunarsip menganggap rumah dengan DP 0% sangat mungkin.

Melalui situs pribadinya, Sunarsip menuliskan sebuah tulisan panjang berjudul "MUNGKINKAH DOWN PAYMENT 0% ATAU Rp 0 UNTUK KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR)? JAWABANNYA: SANGAT MUNGKIN!". Dalam tulisan tersebut, pemuda kelahiran Tuban, 25 Mei 1973 ini mengatakan bahwa keberadaan uang muka atau down payment (DP) merupakan keniscayaan bagi suatu pembiayaan atau kredit kepemilikan rumah (KPR).

"Saya kira, tidak hanya untuk KPR, tetapi hampir seluruh pembiayaan yang melibatkan bank pasti membutuhkan DP. Contohnya, bank tidak akan membiayai suatu kegiatan investasi atau memberikan modal kerja untuk pembiayaan operasional perusahaan, kalau ternyata debitur tidak memiliki cash sebagai dana pendamping. Biasanya, bank akan memberikan pinjaman sebesar kebutuhan dengan catatan, misalnya, sekitar 20%-30% dari total kebutuhan pembiayaan harus disediakan oleh si pemilik usaha atau calon nasabah. Nah, keharusan bagi calon nasabah atau pemilik usaha untuk menyediakan dana pendamping sebesar 20%-30% dari total kebutuhan pembiayaan ini sesungguhnya esensinya sama dengan perlunya DP dalam kredit atau pembiayaan kepemilikan perumahan," ujar Sunarsip seperti dikutip brilio.net dari laman pribadinya Sunarsip.com, Selasa (21/2).

DP ini dianggap perlu karena merupakan alat berbagi risiko (sharing risk) antara pihak bank dan calon nasabah. Selain itu juga jadi bukti komitmen calon nasabah bahwa mereka serius untuk memiliki rumah dengan cara membayar cicilan secara tepat waktu dan tepat jumlah. Tanpa adanya DP ini, Sunarsip mengatakan dikhawatirkan akan menimbulkan moral hazard dari calon nasabah, salah satunya dengan tidak serius membayar cicilan rumahnya.

"Saya kira akan banyak orang miskin yang tidak bisa mengakses bank untuk pembiayaan rumah tinggal yang layak karena keterbatasan dana yang harus disediakan sebagai DP. Karena itulah, perlu ada campur tangan pemerintah agar ketentuan kewajiban DP dan dana pendamping tersebut tidak menjadi halangan bagi kelompok masyarakat miskin untuk memiliki usaha dan rumah. Di sinilah kehadiran pemerintah diperlukan," tutur dosen STAN Kementerian Keuangan RI ini.

Lalu, bentuk dukungan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah agar DP 0% ini dapat dijalankan? Ada empat cara menurut Sunarsip untuk mengakalinya. Pertama, bisa berupa penjaminan pemerintah kepada bank atau kepada developer bahwa meskipun KPR diberikan kepada masyarakat tanpa DP, apabila terjadi gagal bayar (default) oleh nasabah, pemerintah yang akan menjaminnya (membayarnya). Kebijakan ini sangat masuk akal dan tidak membebani keuangan pemerintah. Sebab, realisasi kerugian baru akan terjadi kalau nasabah gagal bayar. Dengan mekanisme yang selektif, terjadinya kerugian dapat diminimalisir. Kebijakan sejenis ini telah dipraktikkan oleh pemerintah pusat dalam hal pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Kedua, pemerintah mensubsidi DP tersebut. Pemerintah daerah menyediakan anggaran subsidi DP yang diberikan kepada bank atau developer. Seperti model FLPP, pemerintah daerah misalnya dapat menyediakan bantuan likuiditas sehingga risiko bagi developer dan bank bisa diminimalisir dan kewajiban DP yang harus ditanggung masyarakat atau nasabah KPR bisa ditekan serendah mungkin. Apakah ini tidak membebani keuangan daerah? Yang jelas pasti ada anggaran yang harus dialokasikan. Tetapi, tidak terlalu besar, terlebih bila program pemerintah daerah ini dikombinasikan dengan Program FLPP di tingkat pusat. Pemerintah Pusat pasti akan mendukung program pemerintah daerah ini, karena akan semakin meringankan beban kelompok masyarakat miskin untuk memiliki rumah dengan biaya yang lebih terjangkau.

Ketiga, adalah kombinasi dari kedua bentuk dukungan di atas: penjaminan pemerintah dan subsidi DP dan keempat, ini di luar aspek DP, tetapi tetap penting adalah pemerintah memberikan subsidi bunga agar beban cicilan kredit menjadi semakin rendah. Dengan cicilan yang lebih rendah, maka risiko gagal bayar menjadi semakin kecil. Sehingga, meskipun tanpa DP, baik pihak bank dan developer tidak akan terekspos/mengalami kerugian.

Tentunya, program DP 0% atau DP Rp 0 ini tidak berlaku bagi semua warga. Karena ini program pemerintah, maka penerimanya juga harus selektif, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Misalnya, untuk kepemilikan rusunawa (di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya yang harga tanahnya mahal). Dengan jangkauan seperti ini, maka DP 0% atau Rp 0 sangat feasible bagi keuangan daerah dan akan sangat membantu bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang ingin memiliki hunian sendiri secara layak.

"Sedangkan bagi kelompok masyarakat yang telah mampu, mereka dapat memiliki rumah dengan skim komersial, bukan subsidi. Saat ini, skim komersial pun sudah banyak bank yang menawarkan program KPR dengan DP 0% dengan skema-skema lain. Intinya kebijakan KPR dengan DP 0% sangat mungkin diberlakukan. Yang penting adalah kehadiran pemerintah sangat diperlukan. Sehingga, masyarakat kelompok miskin dan berpenghasilan rendah dapat memiliki rumah hunian yang layak. Bukankah sudah menjadi kewajiban pemerintah dan negara untuk menyediakan hunian yang layak bagi rakyatnya?" pungkas Sunarsip dalam tulisannya tersebut.

Sementara Pegiat Developer Property Syariah, Muhammad Rosyidi Aziz, mengatakan melalui akun media sosialnya bahwa ketika semua pengusaha dan developer property mengandalkan bantuan bank, pihaknya sudah buktikan bisa menjalankan usaha tanpa bank.

"Ada ratusan projek yang telah menjalankannya. Ketika semua transaksi property mewajibkan Asuransi, kami telah jalankan bisnis ini tanpa asuransi. Ada di puluhan daerah yang sudah menerapkannya," tambah Rosyidi.

Setelah melihat pendapat di atas, kamu setuju?