Brilio.net - Perkembangan anak berbeda satu sama lain. Ada anak yang telat bicara akibat kurang stimulasi dari orang sekitar. Adriana Soekandar Ginandjar dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengatakan, gejala autis berbeda dengan telat bicara. Anak yang telat bicara tetap bisa memahami cara berkomunikasi dengan orang sekitarnya. Komunikasi bisa berjalan dengan memanfaatkan non-verbal. Bila ingin sesuatu, dia akan menunjuk barang itu.

"Kalau anak autis mau sesuatu, dia akan menarik tangan kita untuk menunjuk apa yang dia mau," kata dia, dalam talkshow di Funtaustic Festival 2017, Jakarta beberapa waktu lalu.

Dokter Rini Sekartini dari Ikatan Dokter Anak Indonesia mewanti-wanti orangtua agar mengamati perkembangan anak dari semua aspek. Gejala autisme bisa dideteksi sejak dini bila orangtua seksama memantau tumbuh kembang anak sesuai dengan bertambahnya usia.

Tak hanya kemampuan motorik yang mudah dilihat, tetapi juga kemampuan bicara dan bersosialisasi dengan orang sekitar. "Kalau ada kemampuan yang belum sesuai dengan usia, segera periksa ke ahli psikiatri," tambahnya seperti dikutip Antara.

Sementara, Dessy Arnas, Professional Image Coach - President Elect International Coach Federation Jakarta mengatakan setiap anak memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Hal ini juga berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti autis. Orangtua bertugas menggali bakat dan minat anak autis agar kemampuannya bisa dimaksimalkan.

"Salah satunya adalah seni yang bisa dieksplorasi untuk menggali kreativitas anak autis," kata Dessy.

Bila potensinya sudah tergali, anak autis bisa menghasilkan karya yang tak kalah atau bahkan lebih hebat ketimbang anak normal lainnya. Sebut saja Michael Anthony, remaja Indonesia ini terlahir tuna netra dan autis tapi bisa jadi pianis yang bisa menggelar resital piano tunggal. Michael pun meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia.

"Selain melatih kreativitas, seni juga bisa membangun kepercayaan diri anak," katanya.

Orang-orang yang berada di sekitar anak autis, seperti orangtua dan pengasuh, juga harus lebih mencurahkan perhatian untuk mereka. Selain itu, penting juga untuk tidak 'mengekang' anak autis dari lingkungan sekitar. Menyekolahkan anak ke sekolah umum yang menyediakan fasilitas untuk anak berkebutuhan khusus bisa jadi pilihan untuk membiasakan anak hidup di tengah masyarakat.

"Tentu tidak ditinggalkan begitu saja, ada pendampingan dari sekolah atau orangtua," katanya.

Di sisi lain, teman-teman sebaya di sekolah juga harus diberi pemahaman agar tidak membeda-bedakan anak berkebutuhan khusus. Dessy mengatakan setiap anak sebaiknya diajari untuk menyadari bahwa semua orang bisa berkarya dan bermanfaat, termasuk anak autis.