Brilio.net - Indonesia bersiap untuk mengeksekusi sembilan terpidana mati kasus narkoba. Semua terpidana mati sudah berada di Nusakambangan. Mereka tinggal menunggu waktu ditariknya pelatuk ke tubuh mereka.

Nah, bagaimana perasaan algojo yang mengeksekusi para terpidana mati tersebut? Berikut kisah seorang anggota Brimob yang pernah menjadi algojo seperti dikutip dari theguardian, Selasa (28/4).

Eksekusi terjadi dalam kelilingan hutan di Pulau Nusakambangan. Dua tim disiapkan untuk eksekusi. Satu tim ditugaskan mengawal dan membelenggu para tahanan, sedang tim lainnya ditugaskan menjadi regu tembak yang mengeksekusi terpidana.

Menarik pelatuk merupakan bagian termudah. Bagian terburuk adalah bersentuhan dengan terpidana, mengikat badan, tangan dan kakinya ke tiang dengan seutas tali. Anggota Brimob yang tak mau disebutkan namanya itu telah merasakan berada di dua tim tersebut.

Terpidana diikat tangan mereka di belakang punggung ke tiang. Mereka bisa memilih posisi berlutut atau berdiri seperti yang mereka inginkan. Berbicara dengan terpidana menjadi hal yang selalu dihindari petugas ketika mengikat agar mereka kuat menjalankan tugas tersebut.

"Saya hanya mengatakan maaf karena saya hanya melakukan pekerjaan," terang algojo yang tak mau disebut namanya tersebut.

Terpidana tak akan tahu nyawanya melayang oleh petugas yang mana. Karena dari 12 petugas dalam satu regu tembak, hanya beberapa yang senjatanya berisi peluru. Mereka mengambil jarak 5 sampai 10 meter dari terpidana dan akan menembak dengan senjata M16s saat diberi perintah.

Rasa bersalah pasti menghantui tindakan mereka yang telah menghabisi nyawa orang demi menjalankan perintah. Jika boleh memilih, kata algojo itu, mereka tak akan mau menjadi algojo.

"Kami hanya datang, ambil senjata, menembak, dan menunggu sampai mereka mati. Selang 10 menit setelah tembakan, jika dokter mengatakan bahwa dia mati maka kita kembali, itu saja."

Jika setelah dicek dokter ternyata mereka belum mati, maka petugas yang ditunjuk akan diperintahkan untuk menembak terpidana dari jarak dekat di kepala.

"Saya terikat dengan sumpah saya sebagai seorang prajurit. Tahanan melanggar hukum dan kita melaksanakan perintah. Pertanyaan apakah itu dosa atau tidak terserah Allah," katanya.

Karena rasa bersalah yang berkecamuk dalam diri, maka tak heran jika setelah melakukan eksekusi, petugas menjalani bimbingan rohani dan bantuan psikologis selama tiga hari.