Brilio.net - Masyarakat yang bermukim di dalam Kawasan Taman Nasional Kutai (TNK), khususnya masyarakat adat Dayak di sepanjang jalan poros Sangatta-Bontang hidup dalam kemiskinan. Mereka sulit bergerak. Bahkan untuk membuka lahan agar bisa berkebun pun sangat sulit.

Hal ini disebabkan kebijakan TNK yang menggunakan UU Kehutanan melarang segala aktivitas pembukaan lahan sekalipun hanya digunakan untuk berkebun demi menghidupi kehidupan keluarga.

Kondisi inilah yang membuat resah Tamen Uyang, pria asli suku Dayak Kenyah yang dilahirkan di Apo Kayan, Kab. Malinau, Kalimantan Utara, 2 April 1945. Dia berpikir bagaimana bisa mengentaskan kemiskinan yang terjadi di daerahnya. Pria berusia 70 tahun ini pun termotivasi mengubah keadaan. Bapak empat anak ini kemudian bersama sejumlah temannya mencoba mencari peluang.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tamen melihat banyak sisa-sisa atau limbah kayu tumbang atau mati dan dibiarkan di dalam hutan, dimakan rayap atau lapuk begitu saja. Padahal, limbah itu berasal dari kayu ulin yang banyak terdapat di hutan tersebut. Kendati berupa limbah dan sisa-sisa pohon tumbang, kayu ulin dikenal memiliki kualitas yang bagus.

Tamen Uyang  2016 brilio.net

Tamen Uyang, sosok yang berusaha mengentaskan kemiskinan Suku Dayak.
2016 brilio.net/Istimewa

Tamen pun tak ingin limbah itu mubazir. Lalu dia mulai berpikir bagaimana memanfaatkan kayu tersebut untuk dijadikan sesuatu yang bernilai ekonomis. Muncul dalam benak Tamen untuk menjadikan kayu-kayu sisa itu untuk bahan baku kerajinan tangan.

BACA JUGA:
Suraida, bidan sekaligus guru bagi anak-anak di wilayah terpencil

Akhirnya kami hanya menggunakan kayu-kayu yang berjatuhan (mati) ataupun pohon yang telah tumbang, itupun kami seleksi mana yang masih baik kondisinya dan mana yang lapuk berdasarkan jenis pohonnya, ujar Tamen.

Awalnya, Tamen dan teman-temannya kesulitan mencari limbah kayu ulin. Namun akhirnya dia menemukan bahwa banyak limbah kayu ulin di dalam hutan yang terbuang begitu saja akibat proses alam. Karakter kayu ulin yang keras meski merupakan sisa-sisa pohon tumbang, tetapi sangat bagus untuk dijadikan kerajinan.

Lalu bermodal keterampilan mengukir seadanya yang diperoleh secara turun-temurun, Tamen beserta empat temannya, Elly Lahang, Markus Udau, Udau Taja, dan Marten Lenjau membentuk kelompok kerajinan ukir yang diberi nama Nengayetna pada 2012.

Dalam bahasa Dayak Kenyah, Nengayetna berarti berjuang untuk hidup. Nama ini sengaja diambil karena mereka harus memperjuangkan hidup agar bisa lebih layak.

Awalnya Tamen dan kelompoknya merasa kesulitan, karena mereka harus menahan diri untuk tidak menebang pohon dan hanya menggunakan kayu limbah hutan demi tetap menjaga lingkungan. Masalah lain yang tak kalah pelik ialah ketersediaan modal untuk peralatan kerja dan pengetahuan mengolah kayu yang baik.

Tamen Uyang  2016 brilio.net

Contoh kerajinan yang dihasilkan oleh kegiatan Tamen Uyang untuk mengangkat ekonomi warga.

Masalah tak berhenti di situ. Faktor pemasaran pun menjadi kendala tersendiri karena keterbatasan latar belakang pendidikan, ilmu komunikasi dan sarana transportasi, sehingga Tamen berserta kelompok ukir ini pun sempat mengalami gejolak dan pasang surut.

Berbagai hasil kerajinan yang diciptakan Tamen dan teman-temannya hanya menjadi karya seni belaka tanpa menghasilkan nilai ekonomis. Hingga akhirnya, karya-karya Tamen bisa memberikan manfaat secara ekonomi setelah kelompok Nengayetna resmi menjadi mitra binaan perusahaan migas nasional. Tamen dan kelompok memperoleh pengetahuan tambahan bagaimana cara mengembangkan diri.

Kini Tamen dapat merangkul lebih dari 25 orang sebagai anggota di bawah kelompok, dengan memiliki keahlian dibidangnya masing-masing, mulai dari membuat ukiran, pahatan, perkakas kayu, kerajinan manik-manik, pakaian adat, kerajinan kerang, dan lain sebagainya.

Jalan nasib Tamen dan kelompoknya mulai berubah. Kini kehidupan mereka jaub lebih baik. Perlahan nan pasti, kemiskinan di daerah Tamen mulai terkikis. Bahkan, sekarang Tamen terus memotivasi diri menciptakan inovasi-inovasi dan menggaet seluruh elemen masyarakat untuk bergabung mengubah nasib mereka.