Brilio.net - Menjual barang musiman memang merupakan kendala tersendiri bagi para pedagangnya, karena tidak setiap hari dagangan mereka laku. Begitulah kira-kira yang dirasakan oleh para penjual bunga tabur untuk ziarah.

Mbah Kartiyem (70) adalah salah satu dari sekian banyak pedagang yang masih bertahan dengan berjualan bunga tabur di daerah pasar Sribit, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Dia mengaku sudah berpuluh-puluh tahun berjualan bunga tabur walaupun penghasilannya tidak menentu.

Sekeranjang bunga tabur yang terdiri dari mawar dan melati mereka hargai Rp 10.000 saja. Walau begitu tidak setiap hari bunga-bunga tersebut laku sehingga kadang Mbah Kartiyem pulang dengan tangan hampa.

"Nggih nek mboten payu niku njuk kembange layu, mboten saget disade malih (kalau tidak laku terus bunganya jadi layu, tidak bisa dijual kembali)," ujar Mbah Kartiyem saat ditemui brilio.net, Kamis (16/4).

Perasaan yang sama juga dihadapi oleh Mbah Rubiyah (64), dia mengaku hanya saat menjelang Ramadhan saja dagangannya akan laris manis. Karena biasanya masyarakat Jawa mengenal dengan budaya nyekar atau ziarah ke makam keluarga.

Suka duka para penjual bunga ziarah, hanya ramai menjelang Ramadhan

"Alhamdulillah nek mlebet wanci poso laris, dados saget kagem sangu lebaran. Saget numbaske putu-putu klambi anyar pun seneng (Alhamdulillah kalau memasuki bulan puasa dagangan laris, jadi bisa untuk uang saku saat lebaran. Bisa membelikan baju lebaran untuk cucu saja sudah senang)," kata Mbah Rubiyah.

Melihat penghasilannya yang tidak menentu tersebut, lalu kenapa mereka masih bertahan berjualan bunga tabur? Alasannya sederhana sekali, karena mereka merasa didoakan. Mereka percaya bahwa ketika orang berziarah kubur dan mendoakan orang yang dikuburkan maka mereka juga merasa ikut didoakan.

Sebuah pemikiran yang sederhana tetapi penuh makna, dengan tidak pernah merasa kekurangan mereka menjalani hari-harinya dengan bahagia walau kadang pulang dengan tangan hampa.