Brilio.net - Kisah itu pendek saja. Dikisahkan oleh seorang sastrawan Rusia, Anton Chekov. Menceritakan Grigorii Kuzmich, seorang pekerja yang biasa-biasa saja tapi diangkat menjadi kasir perusahaan. Pada mulanya dia begitu galak dan anti korupsi. Namun, kisah berakhir ketika Grigorii ditangkap karena dia diduga korupsi. Karya-karya Chekov memang kental mengkitik perilaku koruptif.

Karya-karya Chekov banyak diminati pembaca sastra Indonesia. Nama-nama macam Leo Tolstoy dengan novel Kebangkitan ataupun Nokoloi Gogol dengan novel Jiwa-jiwa Mati. Pembaca tak kesulitan untuk membaca versi bahasa Indonesia. Nah, orang yang paling berjasa mengenalkan sastra-sastra dunia itu adalah Koesalah Soebagyo Toer. Dialah yang menerjemahkan karya-karya besar, yang buku terjemahannya masih diburu kolektor buku sampai sekarang. Tak hanya menerjemahkan, sekian banyak buku Koesalah juga mempunyai arti penting bagi Indonesia. Salah satunya adalah Kronik Revolusi Indonesia yang ditulis bersama Pramoedya Ananta Toer, kakaknya.

Dan kabar duka datang pada 16 Maret 2016. Koesalah tutup usia pada pukul 08:30 WIB di Rumah Sakit Graha Depok. Jenazah disemayamkan di rumah duka di Jalan Kemiri Muka Depok. Semua orang merasa kehilangan, terutama orang-orang yang akrab dengan dunia sastra. Koesalah wafat pada usia 81 tahun. Dia dikenal sangat dengan dengan kakaknya, Pramoedya Ananta Toer. Dia menulis dua buku tentang Pramoedya yakni "Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer" dan "Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer".

Liek (Pram memanggilnya demikian) lahir di Blora, Jawa Tengah pada 27 Januari 1935. Ia sempat menempuh pendidikan di program studi Bahasa Inggris Fakultas Sastra Universitas Indonesia meski tidak tamat. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di Moskow, Rusia di Fakultas Sejarah dan Filologi Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1960-1965. Nah, sejak bermukim di Rusia itulah, Koesalah jatuh cinta dengan negara berjuluk Tirai Besi itu. Dia pun kemudian menerjemahkan karya sastra Rusia.

Beberapa diantaranya Jiwa-Jiwa Mati (kaya Nikolai Gogol), Anna Karenina (karya Leo Tolstoy) serta Pengakuan: Sekumpulan Cerita Pendek (karya Anton Chekhov). Tiga buku tersebut sampai sekarang banyak diminati pembaca sastra Indonesia. Harga bukunya pun terbilang mahal. Salah satu faktornya adalah penerjemahnya tertera Koesalah Soebagyo Toer. Dia dikenal sangat teliti dalam hal menerjemahkan karya. Tak mau sekadar main-main.

Namun, perjalanan hidup Koesalah mirip dengan kakaknya, penuh jalan terjal. Meski tak sampai seperti Pram. Pada tahun 1968-1978, Koesalah dicap sebagai tahanan politik di bawah rezim Orde Baru. Dalam sebuah testimonial, Koesalah mengaku pernah ditangkap tiga kali oleh pihak militer. Meski akhirnya dibebaskan, Koesalah dikenai wajib lapor dua hari sekali. Beberapa benda seperti mesin tulis, naskah terjemahan dan motor juga diambil paksa oleh militer. Dia baru benar-benar dibebaskan pada tahun 1978 walaupun harus berjanji untuk tidak menyebarkan paham Marxisme dan Lenisme.

Kini sang sastrawan, sang penerjemah ulung, sudah tiada. Selain buku-buku yang ditinggalkannya, Koesalah juga meninggalkan suatu yang luar biasa. Yakni perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Bangsa). PATABA didirikan tiga orang Toer bersaudara: Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Soesilo Toer. Namun, belum sempat Perpustakaan PATABA ini berdiri, Pramoedya Anantar Toer sudah terlebih dahulu wafat. PATABA memiliki motto “Masyarakat Indonesia Membangun adalah Masyarakat Indonesia Membaca menuju Masyarakat Indonesia Menulis”. Buku-buku terbitan PATABA juga sudah mulai banyak diedarkan.

Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Namun, nama Koesalah Soebagyo Toer selalu dikenang oleh dunia. Bahkan tak hanya dikenang, tapi juga dibaca, pikiran-pikirannya dipelajari, dan buku-buku tentang Koesalah sebagai penghormatan atas jasa-jasanya akan banyak ditulis. Selamat jalan Pak Koesalah. Selamat jalan Liek. Selamat jalan sang sastrawan.