Brilio.net - Sudah sering kita melihat potret semangat bersekolah dari anak-anak di pelosok negeri. Mulai dari potret tentang mereka yang harus melewati jembatan tali untuk sampai ke sekolah, berjalan puluhan kilometer, dan lainnya. Hal itu juga dirasakan oleh adik-adik kita di wilayah Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara.

Tidak hanya perihal cara mereka pergi ke sekolah, tapi untuk tetap melanjutkan pendidikan, bahkan untuk upacara bendera pun kesulitan. "Sekolah tempat saya mengajar itu nggak punya lapangan upacara karena sekolahnya cuma satu gedung dengan tujuh ruang saja. Jadi upacara kita itu diadakan di jalan desa di depan sekolah, yang mana ketika ada angkot (oto) yang lewat kami harus mingir dulu sebelum kemudian lanjut upacara," ujar Renita Andriyani yang pernah menjadi pengajar di salah satu SD di Sitaro tahun 2013-2014 pada brilio.net Minggu (26/4). Murid-muridnya juga tetap semangat melakukan upacara bendera walau harus berdiri di antara sisa-sisa material bangunan karena ketika itu sekolah sedang dalam pengembangan.

Sekolah di pelosok, upacara di jalan & menepi jika ada angkot lewat

Alumni Universitas Negeri Malang ini juga bercerita, semangat belajar anak-anak Sitaro sangat besar. Apalagi sejak pemerintah memberikan kebijakan sekolah gratis di Sitaro, ada beberapa muridnya yang awalnya putus sekolah akhirnya kembali lagi melanjutkan sekolah meskipun orangtua mereka tidak menyetujui.

Sekolah di pelosok, upacara di jalan & menepi jika ada angkot lewat

"Salah satu siswi saya itu ada yang selama 2 tahun putus sekolah akhirnya kembali ke sekolah. Dia tetap ingin bersekolah meskipun faktanya orangtuanya tidak mengizinkan. Akhirnya waktu itu dia tinggal bersama neneknya dan Alhamdulillah dia bisa terus lanjut ke SMP," cerita Renita.

Sekolah di pelosok, upacara di jalan & menepi jika ada angkot lewat

Ada pula muridnya untuk sampai sekolah harus berjalan kaki jauh melewati bukit. "Ya semua murid memang sangat semangat sekolah meskipun di sekolah untuk pengajarannya kami hanya mengandalkan papan tulis, kapur, dan suara guru, meskipun juga kelas mereka ada yang harus dibagi dua dengan gudang, dan meskipun rak buku yang seharusnya diletakkan di perpustakaan harus diletakkan di dalam kelas karena kurangnya ruang."