Brilio.net - Pesantren pada umumnya didirikan untuk tempat memperdalam ilmu agama dan mengaji. Namun, Dalam perkembangannya, banyak juga pesantren yang dilengkapi dengan sekolah umum agar tidak tertinggal dengan sekolah formal. Di Yogyakarta, ada salah satu pesantren unik untuk mahasiswa yang didirikan khusus untuk program membaca, menulis, dan zikir.

Pesantren ini didirikan tahun 2002 oleh almarhum Zainal Arifin Thoha, sastrawan sekaligus dosen Universitas Negeri Yogyakarta. Pesantren ini lahir dengan nama Hasyim Asy'ari dan dulunya ada di Krapyak. Karena beberapa alasan, kini lokasinya pindah ke Jalan Parangtritis km 7,5, Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta.

Dalam perkembangannya, pesantren Hasyim Asy'ari lebih akrab dikenal sebagai Lesehan Sastra Kutub. Kalian bisa melihat aktivitas mereka di fanpage facebook dengan nama tersebut. Ada banyak santri dari berbagai wilayah seperti Jawa Timur, Madura, dan Jawa Barat belajar di sini. Umumnya mereka juga masih mahasiswa.

"Kebanyakan yang di sini juga masih kuliah, ada yang di UIN Sunan Kalijaga dan UMY," kata Ahmad Naufel, salah satu santri Kutub yang juga mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, kepada brilio.net, Selasa (22/12).

 

Pesantren unik ini ajarkan mengaji sastra kepada para santri, top!

Kalau kamu belajar di Kutub, kamu nggak harus pandai karena yang penting kemauan untuk menulis. Di sini santri belajar menulis esai, opini, cerpen, dan puisi. Tidak ada guru menulis, yang ada kelompok diskusi untuk saling memberi masukan.

"Di sini tidak ada guru menulis atau kelas menulis, yang ada diskusi tentang karya yang dihasilkan. Karya itu biasanya dikomentari, dibantailah istilahnya," terang Naufel.

Santri di Kutub juga rajin mendatangi senior-senior mereka seperti Joni Ariadinata untuk menilai karya mereka. Tulisan santri-santri Kutub baik esai, opini, cerpen, maupun puisi sudah banyak masuk media lokal maupun nasional lho.

Sejak Zainal Arifin Thoha meninggal pada tahun 2007, Kutub diurus oleh dua pengurus baru yakni Kuswaidi Syafii dan dan Husni Amrianto. Husni Amrianto juga merupakan dosen Hubungan Internasional di UMY.

Untuk menjadi santri di Kutub, kamu nggak perlu mengeluarkan banyak biaya. Cukup Rp 10 ribu sebulan, kalau untuk makan tentu diusahakan sendiri.

"Aku tahu tempat ini karena cari tahu dari internet, terus berangkat ke sini deh. Di sini kalau urusan makan kalau ada beras ya masak kalau nggak ada ya nyari sendiri-sendiri," kata Taufik Sinaga, mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia yang rela cuti kuliah demi belajar menulis di Kutub.

Tentu kehidupan di pesantren berbeda dengan kehidupan di kos eksklusif. Santri di Kutub harus bersedia tidur di tempat ala kadarnya. Santri tetap senang dan juga banyak sekali buku yang bisa dibaca di sini. kebanyakan merupakan koleksi dari almarhum Zainal Arifin Thoha.

Sampai saat ini, Kutub baru dibuka untuk santri laki-laki. Tapi, tidak menutup kemungkinan untuk perempuan yang mau ikut diskusi bersama mereka.