Brilio.net - Cerita kelam Mary Jane berawal 26 April 2010 ketika, Christina, teman Mary Jane, menyuruhnya segera berkemas karena ada pekerjaan di Indonesia. Awalnya Jane menolak karena dia tidak punya uang dan tiket. Christina memberi sejumlah uang dan koper kosong lalu memasukan pakaian-pakaian ke dalam koper.

Mary Jane pun berangkat ke Yogyakarta dengan janji bakal dijemput orang yang akan memperkerjakannya. Sesampainya di Bandara Adisutjipto dan melewati X-Ray, petugas mencurigai koper Mary Jane. Dari mesin X-Ray tampak barang mencurigakan yang diletakkan tersembunyi. Barang itu adalah 2,6 kg heroin senilai Rp 5 miliar yang menjebak hidup Mary Jane.

Mary Jane pun ditahan pada 11 Mei 2010. Mary Jane pun memberitahu keluarganya jika ia dipenjara. Babak baru dirasakan Mary Jane yang hanya bersekolah sampai kelas satu SMP itu. Ia berjuang agar terbebas dari hukuman berat.

Masalahnya, Mary Jane saat itu tak bisa berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia. Menurut Agus Salim, pengacara Mary Jane di Indonesia, dia tidak mampu untuk membela dirinya sendiri. Bahkan saat proses di pengadilan, ada bantuan penerjemahan dari mahasiswa akademi bahasa asing yang tidak memiliki lisensi dari asosiasi penerjemah bahasa Indonesia. Akibatnya, kerap terjadi kesalahan komunikasi antara hakim dan Mary Jane.

Pengadilan singkat bagi Mary Jane berakhir pada Oktober 2010. Hanya 6 bulan sejak ia ditangkap, majelis hakim enggan mengabulkan tuntutan jaksa agar dijatuhi hukuman seumur hidup. Hakim justru menjatuhkan hukuman mati.

Setelah divonis mati, pada Agustus 2011 Presiden Noynoy Aquino, presiden Filipina, meminta pengampunan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk Mary Jane. Pada masa itu Indonesia punya moratorium untuk menunda hukuman mati dan pengampunan yang belum ditindaklanjuti bahkan sampai masa akhir kepemimpinan SBY.

Tak lama setelah dilantik, Presiden Joko Widodo menyatakan perang terhadap kejahatan narkotika. Presiden menolak semua permintaan pengampunan dari semua terpidana yang sudah dijatuhkan vonis mati. Pada Januari 2015 nama Mary Jane masuk dalam daftar yang akan dieksekusi mati. Pengacara yang disewa pemerintah Filipina segera mengajukan proses Peninjauan Kembali (PK) pada 19 Januari 2015 sebagai usaha terakhir agar lolos dari hukuman mati.

Pada 9 Februari 2015, Jokowi berkunjung ke Filipina. Presiden Aquino kembali mengangkat kasus Mary Jane dalam pertemuan resmi. Pada 3 dan 4 Maret 2015 berlangsung sidang Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Sleman.

Pengacara Mary Jane berpendapat bahwa kasus ini berhak ditinjau ulang karena selama proses peradilan sebelumnya, Mary Jane tidak didampingi oleh penerjemah tersumpah dan profesional sehingga cacat hukum. Bahkan pihak rektorat Akademi Bahasa Asing di Yogyakarta pun mengakui bahwa pada saat itu penerjemah Mary Jane masih tercatat sebagai mahasiswa sekolah mereka. Tetapi upaya itu mentok. Pada 25 Maret 2015, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali kasus Mary Jane.

Pemerintah Filipina pun mengajukan PK kedua pada 27 April 2015. Tapi sore harinya, pengajuan itu lagi-lagi ditolak oleh PN Sleman. Hukuman pun tetap belum berubah. Hari-hari akhir Mary Jane di depan regu tembak makin dekat.

Namun ternyata keadaan berubah. Detik-detik jelang eksekusi Mary Jane pada Rabu, 29 April 2015 justru ditunda dari eksekusi, pasalnya Presiden Jokowi mendapatkan bukti baru bahwa heroin yang dibawa Jane adalah selundupan dari perekrutnya. Mary Jane diduga merupakan korban sindikat perdagangan manusia internasional.