Brilio.net - Di deretan tempat duduk Pujasera Pakualaman Yogyakarta, tampak seorang nenek yang berkeliling sambil menenteng barang dagangan. Ia menghampiri orang-orang yang sedang asyik menikmati makanan sembari bercengkrama dengan pasangannya untuk menawarkan jajanan. Namun, di antara sekian banyak orang tak ada yang tertarik membeli makanan kecil yang dijajakannya.

Usia Mbah Watiyem (74) memang terbilang sudah lanjut. Jalannya sudah tak tegap lagi. Apalagi ia juga membawa beban yang menemaninya berjalan. Kedua tangannya menjinjing plastik yang berisi jajanan, sedangkan punggungnya menggendong bakul dari anyaman bambu yang dikaitkan dengan selendang ke tubuhnya.

Setiap harinya Mbah Watiyem berjalan untuk menawarkan jajanan. Aneka jajanan yang dibawa diperolehnya dari kulakan ke toko makanan ringan. Setelah itu jajanan yang dibawanya itu dibungkus kecil-kecil dan dijual dengan harga Rp 2 ribu.

Pantang menyerah, Mbah Watiyem jalan kaki 7 jam jualan makanan kecil

Untuk menawarkan dagangannya, Mbah Watiyem harus menempuh rute yang tidak dekat. Ia menawarkan jajanan itu dari rumahnya di daerah Golo, Umbulharjo, Yogyakarta, lantas menyusuri Jalan Kusumanegara ke arah barat. Bahkan, Mbah Watiyem mengaku biasanya berjualan hingga daerah Pojok Benteng Yogyakarta. Perjalanan dari rumah sampai kembali lagi ke kediamannya itu biasa ditempuh kurang lebih selama 7 jam.

"Saya berangkat dari rumah jam 8 pagi dan biasanya pulang jam 3 sore," kata Mbah Watiyem kepada brilio.net, Senin (23/3).

Mbah Watiyem mengaku bahwa pekerjaan dilakoni untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penghasilan kotor dari usahanya berkisar Rp 70 ribu per hari. Pendapatan itu tentunya masih harus dikurangi modal yang disimpan untuk berjualan ke esokan harinya. Alhasil untung yang didapatkannya tak seberapa.

"Orang yang kerja berat kayak saya malah cuma dapat sedikit. Lha, yang kerjanya enak-enakan malah dapat uang banyak," sindir Mbah Watiyem.

Sementara itu, suami Mbah Watiyem sudah meninggal sejak anak-anaknya duduk di bangku SMP. Kedua anaknya kini sudah menikah, tetapi masih tinggal satu atap bersama Mbah Watiyem.

Nenek ini menuturkan prinsip hidupnya lebih baik bekerja daripada hanya berdiam diri di rumah. Dulu, cerita Mbah Watiyem, barang yang dijual itu bebannya lebih berat dari yang saat ini dijajakannya. Tetapi menyadari fisiknya yang semakin menurun, dia memilih berjualan jajanan yang bebannya lebih ringan.

Saat ditanya brilio.net, Mbah watiyem sebenarnya agak lupa dengan namanya. Ia sempat menyebutkan dua nama yang berbeda. Hal itu mungkin akibat usianya yang memang sudah terbilang lanjut.

"Watiyem. Eh bukan, Rubiyem. Hmm...yang benar Watiyem mas, saya juga agak lupa," katanya sambil melebarkan senyum.