Brilio.net - Ngomongin soal nuklir, sudah pasti yang ada di benak masyarakat adalah bom nuklir yang menakutkan. Padahal sejatinya, nuklir begitu dekat dengan mereka. Buktinya, tidak sedikit peralatan rumah sakit yang notabene memanfaatkan energi nuklir. Nggak percaya? Banyak dari kamu pasti sudah pernah mendengar radiosotop yakni unsur yang bersifat radioaktif yang banyak digunakan dunia medis. Fungsinya untuk melakukan pemeriksaan anatomi dan morfologi organ tubuh.

Boleh jadi persepsi masyarakat, nuklir itu melulu soal bom karena kurangnya informasi yang mereka dapatkan. Apalagi, kebanyakan masyarakat punya pandangan sendiri tentang nuklir yang selalu dikaitkan dengan bom atom Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada Perang Dunia ke-2 atau ledakan reaktor nuklir di Chernobyl, Ukraina Utara pada 1986. Lengkap sudah pemahaman masyarakat bahwa nuklir adalah bom atom.

Padahal, Indonesia sampai saat ini memiliki tiga lokasi reaktor nuklir meski untuk skala penelitian (non energi). Ketiga lokasi tersebut ialah di Bandung, Jawa Barat (reaktor Triga Mark II, berkapasitas 250 kW diresmikan 1965 yang kemudian ditingkatkan kapasitasnya menjadi 2 MW pada tahun 2000). Lalu ada juga di Yogyakarta, reaktor penelitian nuklir Kartini, berkapasitas 100 kW yang beroperasi sejak 1979 dan di Serpong, Banten, reaktor penelitian nuklir MPR RSG-GA Siwabessy berkapasitas 30 MW yang diresmikan tahun 1987.  

Nah untuk kepentingan energi, Indonesia juga sudah sejak lama merencanakan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di mana calon tapaknya sudah ditentukan di dua lokasi yakni di Muria, Jawa Tengah dan Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Padahal untuk ketersediaan energi baru terbarukan (EBT), pilihan terhadap nuklir bisa menjadi alternatif. Memang bukan persoalan mudah untuk membangun PLTN di Indonesia, sebab dibutuhkan dana yang cukup besar.

Tapi, belum berkembangnya program PLTN bukan semata-mata karena persoalan anggaran. Ya itu tadi masalahnya, selama ini masih banyak persepsi di masyarakat yang menganggap PLTN itu berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Namun, karena gencarnya penyampaian informasi yang dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) ternyata pandangan masyarakat terhadap nuklir telah bergeser.

Terbukti, berdasarkan survei terakhir yang dilakukan Batan, bekerja sama dengan SIGMA Research ditemukan fakta bahwa saat ini 75,3 persen masyarakat mendukung jika akan didirikan PLTN di Indonesia. Dukungan masyarakat lebih besar dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 72 persen dan tahun 2013 yang sebesar 64,1 persen. Dukungan ini diberikan karena masyarakat semakin yakin bahwa PLTN aman. Selain itu kebutuhan listrik yang terus meningkat selama ini membuat masyarakat juga sadar bahwa perlunya menghadirkan pembangkit listrik lain yang belum dipergunakan saat ini dan itu ada di PLTN.

"Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia menyadari potensi pemanfaatan energi nuklir dan kontribusinya untuk menjamin pemenuhan dan kestabilan pasokan listrik Indonesia," kata Kepala Batan, Djarot Sulistio Wisnubroto dalam jumpa pers terkait hasil survei pandangan masyarakat terhadap PLTN di Jakarta, Senin (28/12).

Dukungan akan adanya PLTN merata di seluruh Indonesia. Bahkan Penduduk Pulau Jawa yang sebelumnya banyak menolak PLTN, kini 72 persen responden justru mendukung. Jumlah ini memang lebih kecil dibanding rata-rata penduduk luar Jawa yang sebesar 79,4 persen mendukung PLTN. Dukungan semakin besar karena pemahaman akan PLTN makin merata. Masyarakat Indonesia tidak hanya mendapatkan pengertian tentang PLTN dari lembaga pemerintah, namun juga dari kegiatan mereka dalam mengakses berita termasuk dari internet yang semakin besar. Dari berita-berita tersebut mereka mendapatkan bahwa PLTN sebenarnya memang aman dan dibutuhkan.

Djarot menyebutkan investasi awal mendirikan PLTN memang lebih besar dibanding pembangkit listrik lain. Namun untuk pemeliharaan dan biaya selanjutnya jauh lebih kecil. Biaya investasi PLTN bisa mencapai 3-4 kali investasi untuk pembangkit listrik lain. Tapi Djarot menyebutkan banyak skema pembiayaan bisa dilakukan dalam mendirikan PLTN.

"Uni Emirat Arab (UEA) yang saat ini sedang membangun PLTN menghabiskan dana sekitar Rp 200 triliun. Namun Turki tidak mengeluarkan dana karena bekerja sama dengan Rusia dalam membangun PLTN. Ada beberapa model skema pembiayaan," pungkas Djarot seraya menegaskan bahwa Batan siap untuk menjadi badan pengawas karena pada dasarnya lembaga ini bukan operator atau eksekutor dalam pendirian PLTN.