Brilio.net - Masuk Kota Kudus malam hari, Anda akan disambut pemandangan indah. Gerbang Selamat Datang Kota Kudus penuh warna. Gerbang berbentuk daun tembakau yang berada pada perbatasan. Gerbang melengkung berbentuk daun tembakau itu hendak mengokohkan identitas Kota Kudus sebagai Kota Kretek. Kota Kudus dimana perusahaan milik raja kretek Nitisemito dulu berdiri.

Satu abad lalu, tepatnya tahun 1906, Nitisemito membangun pabrik rokok kretek pertama di Kudus dan memroduksi rokok kretek cap Bal Tiga. Berkat rokok itu, Nitisemito menjadi pengusaha pribumi terkaya di Indonesia pra kemerdekaan, tepatnya sebelum Perang Dunia II. Tapi sayang, kebesaran Nitisemito harus runtuh seketika dan tak berjejak, salah satu sebabnya karena konflik keluarga.

Nitisemito memang mempunyai keluarga besar. Pasangan Nitisemito dan Nasilah mempunyai tiga anak perempuan, yaitu Nahari, Nafiah, dan Hasanah. Nahari menikah dengan Markoem dan memiliki seorang anak bernama Akhwan. Pernikahan Nafiah dengan orang kepercayaan Nitisemito, M. Karmain, tak dikaruniai anak. Mereka kemudian mengangkat seorang putri bernama Djafa'ah dan seorang putra bernama As'ad. Sedangkan Hasanah meninggal sewaktu kecil. Setelah Markoem meninggal dunia karena sakit, Nahari kemudian menikah lagi dengan Oemar Said. Anak Nahari-Markoem tinggal bersama Nitisemito. Menurut cerita, Nasilah sangat menyayangi Akhwan Markoem hingga ia pun disekolahkan ke Handelschool, sekolah setingkat SMA, di Semarang.

kudus © 2016 brilio.net

Pintu gerbang Kota Kudus sebagai Kota Kretek

 

Erlangga Ibrahim dan Syahrizal Budi Putranto dalam bukunya berjudul “Raja Kretek; M. Nitisemito" menyebut bahwa Nitisemito yang ingin memiliki anak lelaki lalu meminta izin kepada Nasilah untuk menikah lagi. Lalu ia menikah dengan Sawirah dan dikaruniai anak bernama Soemadji. Soemadji lah yang digadang-gadang sebagai penerus Nitisemito. Soemadji menikah dengan Siti Chasinah, anak H.M. Muslich, pengusaha rokok kretek Tjap Teboe dan Tjengkeh Kudus.

Soemadji dan Akhwan sama-sama bersekolah di Handelschool Semarang dan juga indekos di tempat yang sama milik seorang Belanda. Usia mereka hanya berselang dua tahun, Soemadji lahir tahun 1914, sementara Akhwan lahir tahun 1916. Lulus sekolah, Soemadji langsung diminta ayahnya magang di pabrik rokok cap Bal Tiga mendampingi M. Karmain, kakak iparnya, yang saat itu memimpin perusahaan. Harapannya, suatu saat Soemadji akan menggantikan Karmain untuk mengendalikan pabrik rokok milik keluarga tersebut.

Hanya beberapa saat setelah Soemadji magang, Akhwan pun berhasil menyelesaikan studinya. Selang beberapa hari setelah Akhwan kembali ke Kudus, ibundanya yang juga putri tertua Nitisemito, Nahari, datang menghadap kepada si Raja Kretek. "Ayah, saya minta agar Akhwan dapat memimpin perusahaan menggantikan Mas Karmain. Dia baru menyelesaikan sekolah dan pantas mendapatkan kedudukan tersebut," demikian permintaan Nahari.

Nitisemito awalnya ragu mengabulkan permintaan itu, apalagi Akhwan saat itu belum berumur 20 tahun. Namun, permintaan Nahari itu rupanya mendapat dukungan ibunya, Nasilah. Bagi Nasilah dan Nahari, perusahaan kretek itu muncul dan berkembang besar karena peran dari keluarga istri pertama Nitisemito, yaitu Nasilah beserta dua anaknya, Nahari dan Nafiah. Alhasil, setelah selama ini pabrik dikendalikan oleh M. Karmain yang merupakan suami dari Nafiah, kini giliran anak Nahari yang mendapatkan kesempatan mengendalikan perusahan.

Seoang sahabat Nitisemito pernah memperingatkan keputusannya. Seharusnya Akhwan, seorang anak hasil didikan Eropa itu perlu magang terlebih dahulu sebelum dijadikan pemimpin agar mempunyai pengalaman.

“Apa gunanya aku telah membuang uang yang begitu banyak untuk menyekolahkan mereka? Bukankah mereka telah meraih diploma? Aku dulu yang tak sekolah toh bisa begini. Bukankah dia akan lebih sanggup daripada aku?,” kata Nitisemito yang ditulis Parada Harahap dalam bukunya "Indonesia Sekarang".

Sejak 1936, formasi kepemimpinan rokok kretek cap Bal Tiga pun berubah. Akhwan Markoem Nitisemito menjadi Direktur. Sedang Soemadji Nitisemito yang awalnya digadang-gadang menjadi pemimpin, cukup menjadi kasir atau bagian keuangan. Sedang M. Karmain yang awalnya memimpin pabrik menjadi Verkoop-organisatie atau bagian penjualan.

Dalam buku "Raja Kretek M. Nitisemito" karya Erlangga Ibrahim dan Syahrizal Budi Putranto disebutkan, hal pertama yang dilakukan Akhwan kala itu adalah merekrut seorang Belanda yang merupakan mantan pegawai pajak pemerintah kolonial untuk mengurus keuangan. Kebijakan itu malah membuat keadan semakin rumit, pasalnya memang sejak dulu Belanda mengincar Nitisemito yang dicurigai telah mendanai perjuangan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Bung Karno. Masuknya pegawai tersebut justru memberikan peluang Belanda membuktikan itu.

Maka dicarilah cara untuk menjebloskan Nitisemito dan pabrik rokoknya ke ranah hukum. Uang yang tak terlacak dijadikan dalih bahwa Nitisemito tak membayarkan pajak sesuai Blasting Ordonantie 1932 sehingga menyebabkan Hindia Belanda dirugikan hingga jutaan gulden. Rumah dan mobil pun disita karena masalah pembayaran pajak yang berjumlah f.160.000,-. Akhwan yang mengetahui itu langsung menuduh M. Karmain sebagai pelaku semuanya. M. Karmain pun dijebloskan ke penjara Sukamiskin karena tuduhan itu tanpa adanya penyidikan. Selang enam bulan, karena tak menemukan bukti, M. Karmain pun dibebaskan.

Kudus © 2016 brilio.net

Santri berkumpul di depan pabrik di tepi kali Gelis menanti pemberian zakat (1935)

Edy Supratno, pemerhati sejarah Kota Kudus menyebut tak hanya konflik keluarga saja yang menyebabkan perusahaan kretek Nitisemito hancur. Faktor lain adalah pecahnya Perang Dunia II. Hampir semua pabrik, pada masa itu mengalami kemunduran. "Jepang masuk itu titik awal kebangkrutan Nitisemito sebab tindakan regresif Jepang yang merampas semua aset kekayaan aset pribumi, termasuk perusahaan milik Nitisemito," jelas Edy saat ditemui brilio.net di Kudus beberapa waktu lalu.

Pengaruhnya, kata Edy, tentu sangat besar. Sekitar 15.000 buruh rokok kretek Tjap Bal Tiga dirumahkan yang mengakibatkan tak ada pemasukan yang cukup bagi para buruh tersebut. Hal tersebut tentu berimbas pada masalah ekonomi, meskipun  sebenarnya penyebab kekacauan ekonomi saat itu karena efek perang global.

Amen Budiman menyebutkan dalam bukunya "Rokok Kretek; Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan bangsa dan Negara" bahwa pada tahun 1944-1945 pemerintah Jepang memerintahkan Nitisemito membuka kembali pabriknya. Namun usaha itu tak berlangsung lama. Demikian juga halnya ketika Nitisemito mengawali produksinya pada 1947. Usahanya mengalami kemacetan.

Nitisemito meninggal pada tahun 1953. Sepeninggal Nitisemito, tak banyak perubahan di bisnis kreteknya. Pada tahun 1962, mulai muncul usaha di kalangan keluarga untuk membangkitkan lagi rokok cap Bal Tiga. Namun usaha inipun hanya bertahan setahun. Soemadji sebagai pewaris hak kuasa rokok kretek cap Bal Tiga juga menyatakan tak ingin membuka pabriknya lagi.

Menurut keterangan Nusjirwan Soemadji Nitisemito, ayahnya sangat memperhatikan nasihat salah seorang ulama terkenal di bangil yang menyarankan untuk tidak membuka lagi usaha rokok Nitisemito yang pernah berjaya di Indonesia.

Edi Sudrajat © 2016 brilio.net

Edy Supratno, pemerhati sejarah Kudus

Sepeninggal Nitisemito, anggota keluarga menjalani hidupnya masing-masing. Generasi ketiga dan seterusnya dari trah Nitisemito pun hidup sebagaimana layaknya orang biasa. Gambaran bahwa mereka merupakan keturunan Raja Kretek yang menjadi orang pribumi terkaya pra Kemerdekaan, tepatnya sebelum pecahnya Perang Dunia II pun tak terlihat.

Sebagian aset peninggalan Nitisemito masih ada di tangan keluarga, sebagian lagi sudah lepas dan dimiliki pihak lain. Di antara aset yang masih bertahan adalah komplek rumah Nitisemito yang kemudian diwariskan kepada keluarga Akhwan Markoem Nitisemito. Rumah tersebut berdekatan dengan rumah keluarga Soemadji yang berada di Jalan Sunan Kudus.

Rumah Kembar, bangunan tua milik Nitisemito ternyata salah satunya sudah lepas dari tangan keluarga. Rumah Kembar  sebelah timur yang diberikan Nitisemito kepada Nahari telah jatuh ke tangan orang lain. Bahkan rumah tersebut sudah sering berganti tangan. Kabar yang ada menyebutkan jika rumah tersebut lepas karena salah satu keluarga yang mewarisinya terlilit utang karena judi. Meskipun sudah sering berganti tangan, tapi tetap saja tak ada perubahan yang berarti pada bangunan tersebut. Konon aura mistis yang ada pada rumah yang sudah lama tak berpenghuni itu membuat banyak orang tak berani untuk menempati atau sekadar mengubah bentuk bangunan.

Sementara itu, Rumah Kembar bagian barat masih ada di tangan Latief Sofwan, keturunan dari Nafiah, anak dari pernikahan Nitisemito dengan Nasilah. Awalnya rumah tersebut rencananya mau dijual. Tapi sudah ditawarkan setahun lebih nyatanya tak ada orang yang berani membeli rumah tersebut.

Nusjirwan Soemadji Nitisemito menjelaskan jika akhirnya, keluarga bersepakat untuk tak jadi menjual Rumah Kembar sebelah barat tersebut. Rencananya, Rumah Kembar yang telah menjadi bangunan cagar budaya itu akan dikembangkan menjadi hotel berbintang. "Nantinya akan dibangun hotel 5 lantai dengan 125 kamar," katanya cucu Nitisemito itu kepada brilio.net.

Menurut dia, pembangunan itu tak akan meruntuhkan rumah induk, karena bangunan tersebut termasuk cagar budaya. Pembangunan akan dilakukan area selain rumah induk tersebut.

Semenyata pabrik seluas 6 hektar yang dulu digunakan belasan ribu buruh untuk membuat rokok kini telah hilang tanpa sisa. Tanah dari bangunan itu telah dibuat berbagai gedung yang ada di pinggir jalan yang menghubungkan antara Semarang dan Kudus. Menurut Nusjirwan, area pabrik tersebut mulai dari gedung DPRD Kudus terus ke selatan hingga sekitar gedung haji JHK Kudus.

 

Nitisemito © 2016 brilio.net

Mobil mewah milik nitisemito merek Pacaard di parkir di halaman dengan nopol K398 (1935)

Selain itu, dulu Nitisemito juga mempunyai gedung bioskop yang sangat ramai pada masanya. Menurut Nusjirwan, gedung bioskop itu dulu berada di tanah yang saat ini menjadi penitipan kendaraan yang ada di sebelah timurnya Ramayana Mall Kudus yang ada di sebelah timur Alun-Alun Kudus. Nitisemito dulu juga disebut mempunyai studio radio sendiri. Tanah bekas studio radio itu kini menjadi markas Brimob Kudus yang ada di Jalan Jenderal Sudirman Kudus.

Villa Nitisemito yang ada di Salatiga saat ini juga sudah tak ada. Dalam buku "Raja Kretek M. Nitisemito; Pengusaha terkaya Sebelum Kemerdekaan" tulisan Erlangga Ibrahim dan Syahrizal Budi Putranto menyebutkan jika Nitisemo juga mempunyai tanah seluas 10.408 meter yang kemudian diwariskan kepada Soemadji. Tahun 1965, tanah tersebut dijual kepada Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) yang kemudian digunakan sebagai gedung Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.

Meskipun warisan Nitisemito bisa dikatakan tak banyak yang bersisa dalam sisi materi, tapi paling tidak Nitisemito memberikan warisan semangat berwirausaha dan nasionalisme yang sangat tinggi bagi para generasinya. Hal itulah yang menjadi kunci kesuksesannya menjadi orang pribumi terkaya pra kemerdekaan.

BACA JUGA: 

Nitisemito akrab dengan Bung Karno dan Paku Buwono X (2)

Nitisemito, Raja Kretek Nusantara yang ternyata tak pernah sekolah (1)