Brilio.net - Kegigihan Muhammad Zulfikar Rakhmat (23) dalam mencapai prestasinya memang patut diacungi jempol. Keterbatasan fisik yang disandangnya justru memicu semangatnya untuk meraih kesuksesan.

Hal tersebut dibuktikannya saat meraih kelulusan dengan predikat cumlaude dari Qatar University dengan IPK 3,93. Tidak sampai situ saja, Rakhmat juga saat ini sedang melanjutkan studi S2nya di Manchester University, Inggris.

Kisah Rakhmat, jawab diskriminasi dengan prestasi cumlaude dari Qatar

Kesuksesan yang diraih Rakhmat tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sejak lahir dokter telah mendiagnosa ada gangguan motorik pada kedua tangan Rakhmat yang membuatnya selalu bergetar, sehingga Rakhmat mengalami kesulitan untuk mengambil barang dan menulis. Penyakitnya tersebut juga membuatnya terbata-bata dalam berbicara.

Selama belasan tahun Rakhmat dan keluarganya telah melewati perjuangan tiada akhir, seperti bullying dari teman sebaya, penolakan sekolah, kurangnya akses ke fasilitas umum, dan lain-lain. "Karena saya ini cacat fisik, banyak sekolah yang menganggap intelijen saya juga terganggu," kata Rakhmat kepada brilio.net,Minggu (10/5).

Selama tinggal di Semarang, berbagai macam bentuk bullying diterimanya. Mulai dari lingkungan masyarakat sekitar, hingga kehidupan sekolah pun dilaluinya dengan tidak mudah. Rakhmat mengaku ada kalanya berangkat sekolah adalah menjadi hal yang paling menakutkan. "Sejak SD sudah biasa diketawain, tapi yang paling sedih itu pas mereka nggak percaya kalau saya mampu mendapat nilai bagus," tutur pria kelahiran Pati tersebut.

Rakhmat juga ingat cerita ibunya, banyak tetangga yang menyarankan agar Rakhmat dimasukkan ke SLB. Namun demikian hal itu mereka tolak dan perjuangan terbesarnya adalah mendapatkan izin bersekolah di sekolah umum di Indonesia. Pasalnya, tidak semua sekolah umum dilengkapi dengan peralatan untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Dia harus menjalani serangkaian tes untuk membuktikan bahwa dia mampu secara akademis untuk belajar bersama anak-anak normal lainnya.

Pada tahun 2007, ayahnya dipindahtugaskan ke Qatar. Rakhmat kemudian melanjutkan SMA di sana, saat itulah kemajuan akademisnya meningkat pesat. Hal ini menurutnya, karena sekolah di Qatar menerapkan spesialisasi kepada minat siswa.

Setelah mendapat beasiswa penuh di Qatar University, kehidupan Rakhmat semakin membaik. Hal tersebut karena teman-temannya di kampus sangat baik dan peduli kepadanya. "Di sana jarang ada bis kota karena hampir semua orang punya mobil, saya nggak bisa nyetir tapi mereka rela antar jemput saya," jelas Rakhmat.

Dia ingat bagaimana para dosen dan staf dari bagian kebutuhan khusus membantunya dan memastikan bahwa dia boleh menggunakan laptop atau menyediakan penulis yang membantunya saat menulis tangan.

Walaupun di kampus dia sudah tidak mendapat diskriminasi, namun masih ada beberapa beberapa perlakuan berbeda yag dia dapatkan. Seperti banyak taksi yang tidak mau berhenti ketika melihat tangan Rakhmat yang bergerak-gerak sendiri. "Kalau pergi ke restoran juga banyak pelayan yang ketakutan dan nggak mau melayani saya," ujar pria yang sudah kebal perlakuan diskriminasi ini.

Perlakuan diskriminasi tersebut tidak membuatnya putus asa, dia selalu bersyukur dengan kekurangan fisik yang dia miliki karena baginya banyak orang yang lebih tidak beruntung daripada dirinya di dunia ini. "Tanpa tangan yang berfungsi dengan baik, banyak kegiatan yang nggak bisa saya lakukan, atau setidaknya harus saya lakukan dengan cara yang beda. Ketika saya merasa sedih, saya melampiaskan diri dengan membaca alquran dan di sana dikatakan bahwa Allah tidak akan memberikan beban lebih dari yang bisa ditanggung umat-Nya," katanya lagi

Saat ini Rakhmat sedang menempuh studi S2 nya di Manchester University, Inggris dengan jurusan Politik Internasional. Salut untuk Rakhmat!