Brilio.net - Keterbatasan yang dimiliki oleh seseorang dari sejak lahir ataupun karena sesuatu hal yang dialami selama hidup tentu menjadi hambatan dan kekurangan jika dilihat secara normal.

Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi seorang penyandang tuna rungu asal Semarang. Dia membuktikan keterbatasan yang dia miliki tidak menjadi penghalang atau hambatan untuk melakukan sesuatu yang dia sukai seperti jalan-jalan. Bahkan ke luar negeri pun dia tak menggunakan jasa travel alias mandiri.

Jonathan Chrisnada Galih Pradipta (32), biasa dipanggil Jon, pria asal Semarang ini berbagi cerita tentang perjalanan sebagai penyandang tuna rungu ke Singapura secara mandiri atau istilah kerennya semacam backpacker.

Kisah Galih, tuna rungu yang menjadi backpacker ke Singapura



Jon mengatakan, menjadi backpacker dengan status tuna rungu memang tak mudah. Karena banyak informasi disampaikan secara verbal. Ketika brilio.net menanyakan hal tersebut kepada penyandang tuna rungu ini, untuk fasilitas dia rasa cukup jelas dengan banyaknya papan penunjuk arah dan jaringan internet yang cepat.

Sehingga kesulitannya dalam komunikasi bahasa tangan, menurutnya petugas dinas perhubungan di Singapura mudah memahami dan toleransi."Bahasa tangan tuna rungu kita wajib dan harus tahu, minimal mengerti bahasa Inggris," Kata Jon, Rabu (1/4).

Keberanian Jon membuat temannya salut, bahkan dia mendapatkan pertanyaan yang sangat banyak mengenai cara-cara yang dia lakukan dalam berkomunikasi sewaktu liburan.

Pria lulusan Universitas Dian Nuswantoro Semarang ini membuktikan bahwa kekurangannya bukanlah sebuah hambatan untuk meraih sesuatu.