Brilio.net - Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah menjadi masalah krusial di masyarakat. Pasalnya, KDRT bisa dilakukan atau menimpa siapa saja. Mungkin juga orang-orang di dekat kamu?

Menurut Margaretha, dosen Psikologi Klinis Universitas Airlangga Surabaya, saat dihubungi brilio.net, Senin (17/8), dalam beberapa budaya, memang memosisikan pria di pihak superior dan seolah mengizinkan mereka melakukan tindak kekerasan dengan dalih mendisiplinkan istri atau anak.

Belum lagi kalau si pria juga menjadi korban KDRT semasa kecil, risiko dia menjadi pelaku KDRT lebih tinggi lagi. Tak heran, kebanyakan pelaku KDRT adalah kaum pria. Mereka menjadikan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah dalam relasi keluarga.

Di sisi lain, perempuan yang mengalami KDRT saat masih kecil, justru membiarkan dirinya menjadi korban KDRT saat dewasa. Hal ini disebabkan harga dirinya saat menerima perlakuan kasar sudah tercoreng. Akibatnya saat dewasa, dia merasa pantas mendapatkan perlakuan KDRT. Tak heran bila ada perempuan yang tetap ngotot mencintai pasangannya, padahal sudah mendapat kekerasan psikis bahkan fisik, misalnya dihina sampai ditampar.

Nah, untuk memutus mata rantai KDRT, Margaretha memberikan solusinya.

Untuk pelaku
Memang kebanyakan fakta yang ada sampai sekarang, pelaku KDRT cenderung enggan mengakui kesalahannya. Hal ini bisa terkait bahwa pelaku KDRT sudah memiliki ketumpulan emosi, alias tak bisa merasakan perasaan apa pun, kecuali misalnya rasa puas saat melakukan kekerasan. Maka saat terjadi KDRT yang dilakukan ada dua hal, yaitu:

a. Restorative Justice (Keadilan Restoratif)

Cara ini diambil untuk mengatasi KDRT yang belum sampai mengancam jiwa korban, yaitu dengan cara mempertemukan pelaku, korban, dengan dimediasi oleh pihak profesional, ahli hukum, dan masyarakat.

Tujuan dari cara ini adalah supaya pelaku bertanggung jawab dan berkomitmen untuk mengakui kesalahannya dan berjanji memperbaiki perilakunya. Jadi, cara ini seperti sistem kontrak dan tidak sampai dibawa ke meja hijau.

b. Hukum pidana atau pelaporan kepada pihak berwajib

Cara ini berlaku untuk KDRT yang sudah mengancam hidup korban sehingga harus dipidanakan.

Margaretha menyatakan bahwa kalaupun pelaku bisa "disembuhkan", perlu waktu yang sangat lama dan ahli terapis mumpuni dalam menangani trauma dan kekerasan, bisa saja pelaku bisa "diperbaiki" sikap, kognisi, bahkan emosinya.

Untuk korban
Ada tiga poin yang bisa mencegah KDRT terjadi berkelanjutan kepada si korban, yaitu:

1. Mendapatkan bantuan untuk mengubah cara pandang terhadap kekerasan

Seperti disebutkan sebelumnya, anak perempuan yang menjadi korban KDRT cenderung memiliki harga diri yang rendah. Sebuah penelitian yang melibatkan 29 perempuan berusia sekitar antara 12-19 tahun, ternyata memiliki harga diri rendah terkait pengalaman melihat ibunya mendapat kekerasan. Bahkan beberapa dari mereka yang telah dewasa, mengaku pernah mendapat kekerasan psikis dari pasangan, misalnya dimaki-maki.

Nah, dari fakta yang ada, perlu adanya penjelasan tentang kekerasan itu sendiri. Dengan begitu, mereka tahu dan bisa mengambil sikap bila tertimpa kekerasan, baik dalam hubungan suami-istri maupun kala pacaran.

2. Mendapat pemantapan harga diri

Masih terkait poin pertama, setelah wanita mendapatkan penjelasan dan pengubahan cara pandang terhadap kekerasan, mereka harus memperbaiki harga diri yang rusak akibat kekerasan masa lalu. Dengan memantapkan harga diri, mereka akan menyayangi dirinya dan memperjuangkan hak untuk diperlakukan dengan baik, jauh dari tindak kekerasan.

3. Mendapat pendampingan

Pendampingan dari pihak ahli perlu diberikan kepada mereka yang mengalami KDRT sejak kecil, baik langsung maupun tidak langsung, supaya berangsur-angsur bisa menyayangi dirinya sendiri dan mengatakan tidak pada KDRT.

Untuk masyarakat
Masyarakat juga harus berperan dalam kasus KDRT. Artinya, masyarakat tidak boleh menutup mata dari pertanda terjadi KDRT di lingkungan mereka. Sekecil apa pun itu, misalnya saja pelecehan verbal terhadap wanita saat di jalan, juga merupakan bentuk kekerasan.

Kalaupun individu dalam masyarakat tidak cukup berani bertindak sendiri dan kasus KDRT sudah sampai mengancam hidup seseorang, sebaiknya melapor ke ketua RT, ibu-ibu PKK, atau komunitas-komunitas masyarakat yang ada, supaya segera dilaporkan ke pihak berwenang.

"KDRT bukan masalah pribadi, sebab itu adalah masalah masyarakat. Artinya kalau terjadi KDRT, masyarakat justru harus ikut campur. Jangan sampai sudah tahu pas sudah ada korban meninggal," pungkas Margaretha mengakhiri percakapan.