Brilio.net - Jamu menjadi salah satu produk pengobatan khas Indonesia yang masih bertahan hingga sekarang. Meskipun jamu kemasan telah banyak beredar, ternyata jamu yang disajikan dalam bentuk tradisional tetap masih banyak diminati. Salah satu tempat yang masih bertahan menyajikan jamu dalam bentuk tradisional adalah Warung Jamu Ginggang di Yogyakarta. Bahkan saat ini pengelolaan warung tersebut telah sampai pada generasi kelima.

Jamu Ginggang, bertahan berkat 'tuah' nama pemberian Sri Pakualam VI

Rudi Supriyadi (50) generasi kelima pengelola Jamu Ginggang.


Warung Jamu Ginggang berlokasi di Jalan Masjid 32 Pakualaman Yogyakarta. Letaknya yang tak jauh dari keraton Pakualaman ini tak lepas dari sejarah berdirinya yang memang bersinggungan dengan Kanjeng Ratu Sri Pakualam VI.

Rudy Supriyadi (50) sebagai generasi kelima Jamu Ginggang bercerita jika Ginggang merupakan pelopor industri jamu yang ada di Yogyakarta. Warung tersebut berdiri sejak zaman Sri Pakualam VI. Pada waktu itu, abdi dalem Pakualaman yang bernama Mbah Joyo merupakan kepercayaan Sri Pakualam VI untuk meracik jamu yang berkhasiat untuk pengobatan.

"Atas saran Sri Pakualam VI, Mbah Joyo mendirikan warung jamu dengan nama Jamu Jawa Asli 'Tan Ginggang' yang merupakan nama pemberian Sri Pakualam VI," terang Rudy kepada brilio.net, Selasa (23/9) di Warung Jamu Ginggang.

Nama 'Tan Ginggang' mempunyai arti 'Tansah Renggang' yang mempunyai maksud supaya hubungan keluarga keraton Pakualaman dengan warga sekitar senantiasa rukun dan dekat tanpa adanya jarak.

Dalam literatur sejarah disebutkan jika Sri Pakualam VI memerintah pada 1901-1902, itu berarti ramuan Jamu Ginggang sudah ada lebih dari seratus tahun lalu.

Jamu Ginggang, bertahan berkat 'tuah' nama pemberian Sri Pakualam VI

Aneka jamu yang ditawarkan.


Seiring berjalannya waktu, Jamu Tan Ginggang milik Mbah Joyo semakin berkembang dan diteruskan oleh Mbah Bilowo, adik. Pada 1925, pengelolaan jamu diteruskan ke generasi selanjutnya yaitu Mbah Puspo Madya dengan perubahan nama menjadi Jamu Ginggang.

Rudy menjelaskan, meskipun Jamu Ginggang bisa dikatakan tak seramai dahulu, tapi dalam sehari masih ada sekitar 300 orang yang datang. Pelanggannya pun datang dari berbagai kalangan, mulai dari warga biasa, pejabat, artis bahkan turis mancanegara. "Kami memang bekerjasama dengan travel agent untuk mengenalkan jamu tradisional kepada turis mancanegara," tutur Rudy.

Kunci langgengnya usaha Warung Jamu Ginggang, lanjut Rudy, terletak pada kualitas dan rasa yang tetap dipertahankan seperti resep dahulu. Warung ini memang terkenal akan rasa jamu yang lebih pekat dibandingkan dengan jamu pada umumnya. Jamu Ginggang juga masih diolah dengan cara tradisional seperti dideplok (ditumbuk), dipipis (dihaluskan), digodhog (dimasak) menggunakan alat yang tradisional pula.

Jamu Ginggang, bertahan berkat 'tuah' nama pemberian Sri Pakualam VI

Pelanggan anak-anak pun ada.


Jenis jamu yang disediakan oleh Warung jamu Ginggang bervariasi seperti beras kencur, temu lawak, galian singset untuk perut kencang, cabe puyang menambah nafsu makan, hingga sawan tahun untuk mencegah sawan dan sakit saraf. Suguhan jamu yang ada di Warung Jamu Ginggang ini pun komplet, mulai dari jamu biasa, sajian dingin, hingga dengan tambahan telur dan madu. Harga yang dipatok juga cukup terjangkau, mulai dari Rp 3 ribu hingga Rp 12 ribu.

Nah, tertarik untuk mencoba khasiat jamu ala Kraton Pakualaman ini?