Brilio.net - Serge Areski Atlaoui, warga negara Prancis kelahiran 16 Desember 1963, ditangkap petugas dari Polda Metro Jaya pada 11 November 2005 di sebuah rumah di Provinsi Banten. Serge terlibat dalam operasi pabrik ekstasi dan sabu di Cikande, Tangerang.

Dari pabrik tersebut petugas menyita 138,6 kilogram sabu, 290 kilogram ketamine dan 316 drum prekusor. Sebanyak 17 orang telah ditangkap, 13 orang diadili dan divonis bersalah, sembilan di antaranya divonis hukuman mati, termasuk Serge.

Pada 2006, Serga divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Serge melanjutkan upaya peringanan hukumannya ke tahap berikutnya, namun Pengadilan Tinggi Banten tak mengubah vonisnya saat ia mengajukan banding pada 2007.

Mahkamah Agung kemudian justru memberi vonis mati ketika Serge mengajukan kasasi pada tahun yang sama. Presiden Jokowi pun menolak grasi Serge melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 35/G tahun 2014 pada 30 Desember 2014.

Serge divonis hukuman mati terkait perannya sebagai ahli kimia (peracik) dalam pabrik ekstasi terbesar di Asia dan nomor tiga di dunia yang disamar sebagai pabrik pembuatan bahan akrilik yang berlokasi di Tangerang, Banten. Meskipun mengaku hanya sebagai teknisi. Dalam kasus ini, ada 9 orang yang dipidana mati namun memang yang paling kerap diberitakan akan dieksekusi paling awal adalah Serge.

Kedelapan 'rekan kerja' Serge adalah Benny Sudrajat dan Iming Santoso (Indonesia), Zhang Manquan, Chen Hongxin, Jian Yuxin, Gan Chunyi, dan Zhu Xuxiong (Tiongkok), Nicholas Garnick Josephus Gerardus (Belanda).

Semakin mendekati eksekusi Serge, pemerintah Prancis melakukan berbagai upaya demi memenuhi hak hidup Serge. Dubes RI di Paris pada 9 April dipanggil oleh Menlu Prancis, Laurent Fabius. Dalam pertemuan tersebut Laurent menyampaikan keprihatinan yang amat mendalam mengenai nasib warganya, Serge Atlaoui yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Indonesia.

Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Corinne Breuze, juga mengadakan konferensi pers tanggal 17 April 2015. Corinne mengaku keberatan dengan pernyataan yang kerap kali dikutip oleh media bahwa barang bukti yang disita petugas seluruhnya milik Serge. Menurutnya itu adalah berita bohong atau menyesatkan.

"Semua barang bukti tersebut disita dari pabrik bersamaan dengan penangkapan 17 orang. Sungguh keterlaluan menjadikan Serge Atlaoui sebagai satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas semua barang bukti, Serge Atlaoui tidak pernah menangani bahan narkoba atau bahan kimia apa pun," ungkapnya kala konferensi pers.

Corinne Breuze juga mengamini penyangkalan yang pernah dilontarkan Serge sebelumnya, bahwa ia bukanlah ahli kimia seperti yang divonis padanya, melainkan hanya seorang teknisi (tukang las) yang perannya minim dalam kasus ini.

Istri Serge, Sabine Atlaoui pun membenarkan hal itu. "Suami saya memang berprofesi sebagai tukang las dan sering ke luar negeri untuk mengerjakan proyek, sebelum akhirnya ditangkap di Indonesia pada tahun 2005," ungkapnya.

Pengacara Serge, Nancy Yuliana pada konferensi pers di Kedutaan Besar Prancis, Jakarta, Kamis (26/2), menyatakan Serge Atlaoui bekerja di pabrik ekstasi tersebut sebagai teknisi, bukan pengedar ataupun pemilik pabrik. Karena itu Atlaoui tidak pantas dihukum mati.

Serge telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada 10 Februari 2015. Kemudian Serge mengajukan perlawanan terhadap keputusan presiden soal grasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di saat terakhir menjelang eksekusi.

"Bukan karena tekanan Presiden Prancis, melainkan karena dia (Serge) mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN yang menolak gugatannya terhadap Keppres grasi. Dia mendaftarkan perlawanannya pada menit-menit terakhir batas waktu pengajuan, di hari Kamis 23 April pukul 16.00 WIB," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Tony Tribagus Spontana pada Minggu (26/4).

Eksekusi mati tahap I oleh Kejaksaan Agung RI terhadap enam terpidana narkoba telah dilaksanakan pada 18 Januari 2015. Tahap II rencananya dilaksanakan pada 29 April 2015. Untuk sementara, Serge tidak diikutkan eksekusi ini karena masih menunggu keputusan PTUN. Jika PTUN menolak, maka Serge akan dieksekusi.

Pemerintah Prancis, seperti disampaikan Corinne Breuze, bersedia membantu Indonesia untuk memberantas penyelundupan narkoba, termasuk melalui penawaran kerja sama. Itulah sebabnya, Prancis secara aktif dan tanpa lelah terus-menerus berjuang demi penerapan moratorium hukuman mati di seluruh dunia.

Prancis telah menghapuskan hukuman mati sejak 1981 dan menentang pelaksanaan hukuman mati dalam kondisi apa pun.