Brilio.net - Kepedulian 30 anak muda ini dalam upaya pembangunan negeri patut diacungi jempol. Puluhan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini secara sukarela berangkat ke Papua Barat untuk berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan.

Dengan membawa bendera Komunitas Untuk Papua, romongan yang diketuai Fajar ini mencoba memberikan aksi nyata untuk warga di Bumi Cendrawasih. Gerakan sosial ini pertama kali dimulai tahun 2013 terdorong oleh keinginan untuk mencerdaskan rakyat Papua. "Pendidikan yang ada di Papua tidak mendapatkan sentuhan yang sempurna dari pemerintah," ungkapnya.

Selama dua bulan di Papua, tepatnya di Raja Ampat banyak hal berhasil dilakukan. "Selain rumah belajar, kami juga membuat enam fasilitas MCK," kata dia. Daerah yang dikunjungi belum terjamah listrik, karena itu mereka menyerahkan 50 buah panel surya, berikut penjelasan tetang penggunaannya.

Komunikas ini juga membuatkan dua koperasi sebagai wadah warga untuk menjual hasil bumi. Fajar dan timnya juga memberikan pelatihan pengolahan dan pengemasan ikan dan abon pisang. Aktivitas bidang ekonomi ini diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Kelancaran aktivitas komunitas yang digawangi oleh Fajar dan enam orang temannya ini tak lepas dari dukungan sejumlah badan dan organisasi, termasuk UGM dan bank pemerintah. Bahkan, Boediono ketika masih menjabat sebagai wakil presiden juga mendukung kegiatan ini.

Meskipun demikian, bukan berarti semua berjalan mudah. Hal paling sulit adalah merekrut relawan untuk masuk tim. "Saya harus satu-satu berdiskusi dengan orang tuanya langsung, meminta izin, dan kulo nuwun," ungkapnya. Upaya meyakinkan orang tua dari calon relawan ini tidak gampang. Fajar kadang harus melakukannya dua sampai tiga kali untuk akhirnya disetujui.

Perjuangan Fajar terbayar dengan semangat yang tinggi dari anak Papua. Salah satu pengalaman yang membuatnya terenyuh adalah di saat dia dan timnya sedang siap-siap untuk mengajar, tiba-tiba ada anak yang sudah menanyakan kapan sekolah dimulai. Mereka tidak sabar untuk belajar.

Misi yang dijalani pada Juli-Agustus 2014 itu juga memberi tantangan sekaligus memberi pengalaman tersendiri karena berlangsung di tengah momen puasa dan hari raya Idul Fitri. Fajar dan timnya harus rela berlebaran jauh dari keluarga. "Kami merasakan bahwa perbedaan itu menjadi sesuatu yang sangat luar biasa," tuturnya ketika menceritakan lebaran di Papua. "Meski kami minoritas, tapi toleransi di sana tinggi sekali."

Kisah perjuangan Fajar dan Komunitas Untuk Papua ini kemudian dibukukan dalam "Jejak Kaki di Timur Negeri". "Hasil penjualnnya itu 100% akan kita sumbangkan untuk pembuatan rumah belajar," imbuh Fajar.