Brilio.net - Letto sukses membuat anak muda Jogja bernostalgia. Bertempat di Pendhapa Art Space, Bantul, Jogja pada Kamis (18/7), band yang sudah terbentuk sejak 15 tahun lalu ini menggelar konser yang beda dari biasanya. Nggak cuma konser biasa, pertunjukkan musik dalam rangka acara Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2019 ini memadukan unsur kental budaya masyarakat Jogja.

Penonton yang datang dari selepas Maghrib mulai riuh ketika personel Letto satu per satu naik ke atas panggung. Dimulai dari Arian memasuki panggung dan langsung mengalungkan Fender Jazz Bass berwarna cokelat miliknya. Disusul dengan Patub (gitaris) dan Dhedot (drummer), Widi (kibordis) dan Cornel (gitaris) yang langsung stand by pada posisinya masing-masing.

Sebelum Noe muncul, lampu panggung tiba-tiba redup. Personel Letto yang sudah di atas panggung mulai memainkan intro lagu. Pada konser kali ini, Letto berkolaborasi dengan musisi tradisional gamelan Jogja. Musik pop khas Letto dan tradisional gamelan yang dihasilkan pun sangat menyatu dan ciamik sekali.

Penonton kembali histeris ketika Noe muncul di panggung. Lagu 'Lubang di Hati' menjadi lagu yang dipercaya untuk membuka gelaran konser malam itu. Suasana di Pendhapa Art Space mendadak jadi romantis.

Sesuai dengan konsernya yang bertajuk micara atau dalam Bahasa Jawa berarti berbicara, Noe melakukan banyak dialog dengan penonton. Dialog yang dibuat pun tidak sepele. Pria yang akrab disapa Sabrang ini banyak membahas tentang budaya dan juga kehidupan manusia.

konser letto gamelan © Festival Kebudayaan Yogyakarta

foto: Dok Pribadi Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019



"Malam ini lagu kita urutkan dari mulai awal terciptanya hidup atau bernapas," ujarnya di sela-sela lagu.

'Sampai Nanti, Sampai Mati' dan 'Senyumanmu' adalah lagu selanjutnya yang dimainkan oleh band kebanggaan kota gudeg ini. Lagu tersebut tentunya sukses membuat penonton menarik ingatan ke beberapa tahun lalu, saat tembang ini masih hits pada masanya.

Di tiap sela antar lagu, Sabrang membahas tentang spiritual tubuh manusia. Menurutnya, ada lima lapisan tubuh yang dinamakan panca maya kosa. Lima lapisan tubuh spiritual ini yang membungkus badan manusia. Mulai dari annamaya kosa, pranamaya kosa, manomaya kosa, vijnanamaya kosa dan terakhir anandamaya kosa.

"Annamaya itu terbentuk dari makanan yang masuk ke dalam tubuh. Kalian makan tempe jadi daging, makan nasi jadi daging. Lalu kalian tumbuh jadi seperti sekarang," jelas Sabrang.

konser letto gamelan © Festival Kebudayaan Yogyakarta

foto: Instagram/@patubpatub



Sebelum masuk ke lagu selanjutnya, Sabrang juga menjelaskan tentang pranamaya kosa. Panca maya kosa yang kedua ini berdampingan dengan annamaya kosa. Lapisan ini yang memberikan energi atau napas terhadap tubuh.

Lagu 'Sandaran Hati', 'Permintaan Hati', dan 'Cinta Bersabarlah' kembali membuat para menonton bersenandung. Judul-judul di atas memang sempat ngehits banget pada masanya. Kenangan yang dimiliki penonton pada lagu tersebut kembali muncul.

Permainan gamelan yang terdengar halus pun membuat suasana konser malam itu sedikit berbeda. Jika Letto selama ini dikenal sebagai band yang lagu-lagunya pop banget, malam ini tambahan suara gamelan tentu membuat aransemen tiap lagu jadi unik. Bahkan bisa dibilang di beberapa part aransemen lagu berubah menjadi nuansa magis.

Melanjutkan pembahasan panca maya kosa, Noe menjelaskan vijnanamaya kosa merupakan lapisan berbentuk akal. Inilah yang membedakan antara manusia dan hewan.

"Bedanya apa? Kalau hewan hanya bisa bereaksi. Tapi kalau manusia sebelum bereaksi pasti ada respons dulu. Mikir dulu, aku benar nggak ya melakukan ini? Aku bodoh nggak ya, kalau kayak gini?" ujarnya.

konser letto gamelan © Festival Kebudayaan Yogyakarta

foto: Instagram/@patubpatub



Panggung malam itu tampaknya memang dikendalikan penuh oleh Sabrang. Sementara Patub dan kawan-kawan hanya sesekali menambahkan dari belakang. Suasana sedikit mencair ketika seorang kru membawa baki penuh dengan beberapa gelas kopi yang kemudian dibagikan ke seluruh personel yang ada di panggung.

Suasana konser pada malam itu memang terlihat sangat santai. Dari awal, penonton menikmati pertunjukkan Letto sambil duduk lesehan. Beberapa personel seperti Sabrang dan Patub pun memilih nyeker ketika beraksi di atas panggung.

Usai menjelaskan anandamaya kosa, anak budayawan kondang Emha Ainun Nadjib itu juga memberikan kesempatan kepada penonton untuk memberikan pertanyaan. Setidaknya ada tiga penonton yang melayangkan tiga pertanyaan yang berbeda. Menariknya, dua orang malah curhat tentang cinta dan patah hati.

"Patah hati itu hal yang menyenangkan. Lho, bener! Coba hitung berapa karya musisi yang lahir dari patah hati," kata Sabrang yang disusul riuh tepuk tangan penonton.

Usai memainkan lagu 'Menyambut Janji' dan 'Ruang Rindu', giliran Patub sang gitaris yang mulai mengambil alih kendali panggung. Bersama pembawa acara Alit Jabang Bayi, Patub kemudian meminta beberapa penonton naik ke atas panggung untuk bermain 'jamuran'.

konser letto gamelan © Festival Kebudayaan Yogyakarta

foto: Instagram/@patubpatub



Jamuran ini adalah permainan tradisional anak-anak yang populer di Jawa. Cara mainnya adalah para peserta menyanyikan lagu jamuran, kemudian pada akhir lagu, ada seorang yang memimpin untuk meminta para peserta untuk menjadi suatu benda atau apapun.

Setelah dibuat terbahak-bahak oleh kelakuan peserta jamuran, Letto menuntaskan pertunjukan malam itu. Tepat pukul 21.45 WIB, Sabrang dan kawan-kawan memainkan 'Sebelum Cahaya' sebagai lagu pamungkas. Acara yang dimulai sejak pukul 19.30 WIB tersebut sukses diakhiri dengan lagu yang indah.

Terlihat raut wajah puas dari para penonton ketika lampu panggung mulai menyala. Pengalaman langka bisa melihat Letto yang berkolaborasi dengan musik tradisional gamelan seperti malam ini.