Brilio.net - Langit kota begitu cerah dan terik. Sayangnya, hal itu tak selaras dengan suasana hati gadis berambut ikal satu ini. Dia baru saja pulang mengajar dan menerima gaji pertamanya. Sudah satu bulan ini dia menjadi guru pendamping Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SD inklusi (SD umum yang menerima ABK dalam proses belajar-mengajar).

Dia senang bisa bekerja setelah dua bulan, pasca resmi menyandang gelar Sarjana Ekonomi, ke sana kemari melamar pekerjaan tapi ternyata tak ada yang berjodoh dengannya. Ya, walaupun di sisi lain dia sakit hati pada ocehan tetangganya yang memandang remeh pekerjaannya sekarang ini. Dia disebut-sebut tak ubahnya baby sitter.

Bukan kehendaknya sepenuh hati mengambil pekerjaan itu. Dia butuh uang untuk membantu perekonomian keluarganya yang pas-pasan. Sekalipun dia cerdas, kuliah full beasiswa pemerintah, lulus dengan IPK 3.7, sayang tak diimbangi dengan keaktifannya berkegiatan atau berorganisasi di kampus. Sehingga minimlah koneksi dengan rekan sejawat. Bukankah mendapatkan pekerjaan itu dipengaruhi koneksi juga?

Yah, akhirnya gadis ini hanya bisa menyesali mengapa dulu tak aktif atau tak gaul. Justru takut kalau dia terlalu aktif berkegiatan di luar kuliah, justru menyedot banyak biaya yang jelas tak mungkin bisa dipenuhi kedua orangtuanya yang hanya tukang tambal ban (ayah) dan pedagang warung kopi kecil (ibu).

Kini sesal tinggal sesal. Dia tak mau pikir panjang sehingga diterimalah tawaran kerja dari seorang tetangganya, yang juga merupakan guru di SD inklusi tersebut. Mengetahui jumlah gajinya tak sampai setengah dari UMR kota besar tempat dia lahir dan tinggal, si gadis berusia awal 20-an tahun ini tak bisa mundur kembali.

Dia tak betah lama-lama menopang dagu dan meratapi nasib. Lagi pula, kedua orangtuanya menyarankan untuk bekerja apa saja dulu asal hidup terus berjalan. Lagi pula, tempat kerjanya itu tak memakan uang transportasi, hanya butuh lima belas menit jalan kaki dari rumahnya.

Setelah dijalani, ternyata mendampingi ABK tak semudah yang dia bayangkan selama ini. Butuh kesabaran ekstra. Terutama si ABK kelas 1 yang dia dampingi super moody. Kalau sedang tidak mood belajar, dia akan berkeliling sekolah seakan tidak kehabisan energi.

Sebenarnya si gadis prihatin dengan anak down syndrome satu ini. Sekaligus takjub, walaupun down syndrome, semangatnya seperti anak normal kebanyakan. Hanya saja, bagi si gadis memang terasa berat. Dasar ilmunya adalah ilmu hitung, bukan memahami watak manusia.

Ketika dia pulang kerja, si gadis berhenti di pos keamanan kampung untuk beristirahat sebentar. Dia tampak termenung.

"Temen-temenku udah diterima di bank-bank terkenal, perusahaan keren, sementara aku? Terjebak begini," keluhnya merasa tak terima dengan takdir Tuhan.

Tak berselang lama, lewat seorang tua renta yang berpakaian lusuh membawa karung besar di punggungnya dan semacam besi panjang dan runcing di tangan kanannya. Tampaknya seorang pemulung.

Si gadis hanya mengamati seksama. Kakek itu terlihat kelelahan. Belum lagi karungnya tampak membebani tubuhnya. Hati gadis itu tersentuh. Membuat tubuhnya beranjak dari duduk menghampiri si kakek.

"Kek, mari duduk dulu sama saya!" ujar si gadis menenteng tas kerjanya yang amat sederhana, tak sebagus milik teman-temannya yang bekerja di bank dan suka mengunggah foto di akun media sosial.

Kakek itu memang lelah. Dadanya naik-turun tampak sesak. Si gadis membantunya duduk. Seiring itu memberikan sebotol air yang dibelinya di kantin sekolah. Kebetulan masih utuh, belum dia minum.

Selesai si kakek minum, kakek itu mengucapkan terima kasih. Kemudian keduanya terlibat pembicaraan. Sampai akhirnya mata si gadis berkaca-kaca.

"Satu kilo botol air bekas begini harganya seribu. Karung Kakek mungking terlihat berat. Tapi sebenarnya hanya tiga sampai lima kilo saja. Penghasilan sehari nggak sampai sepuluh ribu. Ya, disyukuri saja. Kalau nggak disyukuri, Tuhan marah nanti sama kita," tutur si kakek terlihat sudah segar kembali. Bahkan sempat tersenyum kecut. Mungkin menertawakan hidup yang terkadang terasa tak adil. Persis seperti yang dilakukan si gadis selama ini.

Mata si gadis mengamati si kakek dari kepala ke ujung kaki. Kulitnya hitam terbakar sang surya, plus ada bekas-bekas luka di sekujur betisnya. Membuat si gadis membatin dan berpikir keras.

"Hidupku jauh lebih baik dari si kakek. Orangtuaku masih lengkap. Dan mereka masih sehat untuk bekerja walaupun penghasilannya pas-pasan. Mereka tak pernah rakus soal harta. Tapi mereka rakus untuk menyekolahkan aku dan adikku sampai ke jenjang lebih tinggi, meskipun kadang utang ke sana kemari. Seharusnya aku bersyukur."

Sejurus kemudian si gadis mengeluarkan satu lembar 50 ribuan untuk si kakek. "Ini sekadar berbagai rezeki saja, Kek." Walau dia mengerti, itu akan mengurangi jumlah gajinya yang mungkin akan habis dalam sepuluh hari (atau bahkan lebih cepat) untuk membantu perekonomian keluarganya.

Tangan kakek itu mendorong tangan si gadis. "Simpan untukmu sendiri, Nak. Atau berikan pada kedua orangtuamu. Atau masukkan saja ke kotak amal. Kakek masih sehat walaupun sudah 71 tahun. Masih bisa cari makan. Kakek nggak mau minta-minta." Kemudian si kakek pamit melanjutkan pekerjaannya.

Si gadis tertegun. Seharusnya dia malu telah merutuki nasibnya. Dia masih muda, sehat, dan bisa berkarya lebih. Mengapa harus menyesali yang sudah terjadi. Bukankah masa depannya ditentukan hari ini? Ya, si gadis bertekad untuk berpikir positif. Mungkin Tuhan tidak memberikan maunya hari ini, tapi bisa jadi nanti. Asal dia mau berusaha dan tak meminta-minta belas kasihan orang lain.