Brilio.net - Novelis Darwis 'Tere Liye' baru saja menghebohkan pengguna media sosial melalui postingan yang membahas perihal sejarah bangsa Indonesia. Dia menulis tak ada peran orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, dan pendukung liberal dalam mengusir penjajah Belanda.

Hal ini tentu langsung mengundang kontroversi masyarakat luas. Berbagai pendapat pun bermunculan mulai dari yang pro hingga yang kontra. Salah seorang pengguna media sosial, Mashuri Mashar, bahkan menuliskan dalam blog pribadinya sebuah surat terbuka untuk mengomentari status Tere Liye.

"Surat ini saya layangkan bukan karena tingkat pengetahuan saya yang berhubungan dengan Kiri sudah sangat maksimal. Ini semata-mata bertujuan memberikan informasi kepada Bung dan kawan-kawan yang mengalami Phobia Komunisme untuk lebih fair dalam setiap kesempatan ketika memberi makna pada fenomena berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak terjebak dalam kondisi penghakiman sepihak tanpa melalui proses verifikasi," bunyi surat terbuka Mashuri Mashar yang dikutip brilio.net, Selasa (1/3).

BACA JUGA: Tere Liye dibully akibat unggah status sejarah Indonesia, kok bisa?

Nah, kamu penasaran berikut petikan surat terbuka untuk Tere Liye:

Dear Bung Tere Liye,

Ini bagi saya menarik sekali, karena jika merujuk pada sejarah bangsa, sependek yang saya tahu mereka-mereka yang bung tuduh sebagai orang Komunis, Pemikir Sosialis, atau pendukung Liberal justru berperan aktif dalam membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan. Walau sebelumnya diri ini tertarik dengan terminologi bung terkait beberapa kelompok yang bung sebutkan di atas.

Saya akan mulai dengan Tjokroaminoto. Adalah sosok orang yang menjadi peletak dasar benih-benih perlawanan terhadap penjajah. Beliau digelar Raja Jawa Tanpa Mahkota (De Ongekroonde van Java )oleh penjajah. Ini karena sikap beliau yang menolak dengan sepenuhnya untuk tunduk pada penjajah. Dirumah beliau ini juga lahir calon pemimpin bangsa ini salah satunya Ir.Soekarno, yang merupakan presiden pertama Bangsa Indonesia.

Tahukah Bung jika beliau ini juga secara tidak sadar mengilhami anak-anak muda yang pada saat itu kebetulan menempati beberapa kamar di rumahnya untuk indekost. beliaulah banyak yang mengilhami orang-orang seperti Alimin, Musso, Kartosuwiryo, Tan Malaka, Darsono hingga Soekarno.

Salah satunya karena beliau memiliki kharisma dalam berpidato. Selain itu melalui tangan dingin beliau akhirnya lahir sebuah artikel yang pada saat itu cukup menguncang penjajah: Islam dan Sosialisme.

Tahukah bung jika istilah sama rasa terlepas dari perbedaan agama pernah dilafazkan oleh beliau dalam kongres Sarekat Islam (SI) 1917 di Batavia. Menurut bung Tere Liye ini maksudnya apa? atau tanpa bermaksud mendahului bung, bisa jadi beliau meminjam istilah Karl Marx sebagai salah satu pemikir Sosialisme paling popular abad ini untuk terciptanya masyarakat tanpa kelas.

Tokoh lain yang saya akan singgung lagi adalah Soekarno. Besar keyakinan saya bahwa bung sangat paham tentang beliau, setidaknya dari buku-buku sejarah yang berkembang di dunia pendidikan kita. Kali ini saya tidak akan berbicara tentang tanggal lahir atau penggantian nama beliau yang bagi sebagian orang akhirnya berdampak besar dalam perkembangan Beliau kedepannya.

Tapi apakah bung tahu, masa paling berpengaruh dalam diri Beliau yang mendapat gelar Bung Besar ini, adalah ketika tergabung dalam pemondokan dikediaman H.O.S Tjokroaminoto, bersama Alimin, Musso, dan Kartosuwiryo.

Karena selain banyak dipengaruhi oleh Tjokroaminoto, Soekarno muda juga dipengaruhi oleh Musso yang pada saat itu dipanggil Abang oleh beliau. Melalui abang inilah akhirnya Soekarno bersentuhan dengan buku-buku sosialisme.

Dalam ruang yang sangat sempit dan hanya diterangi oleh lentera di rumah Tjokroaminoto itulah akhirnya Soekarno muda ini banyak membaca Das Capital karya monumental Karl Marx dan Angels. Di dalam ruangan itu pulalah akhirnya Soekarno muda banyak berdiskusi dengan abang, walau hanya untuk lebih memahamkan diri terkait paham sosialisme tadi. Ini nantinya menjadi salah satu fondasi dari berdirinya partai Marhaen

KLIK NEXT UNTUK MELANJUTKAN SURAT TERBUKA YANG MENOHOK INI!

2 dari 2 halaman



Tokoh ketiga yang akan saya singgung dan berperan aktif dalam membebaskan Indonesia dari genggaman penjajahan adalah Sutan Ibrahim Malaka. Bung kenal dia? Untuk itu saya masih ragu, setelah Orde Baru dengan berbagai upaya menanamkan pahaman Phobia Komunisme pada bangsa ini selama 32 tahun akhirnya menghapus nama Beliau dalam peta sejarah bangsa ini. Walau sebelumnya Ir. Soekarno telah menetapkan sebagai pahlawan nasinal melalui Kepres RI. No. 53 tanggal 23 Maret 1963.

Sutan Ibrahim Malaka, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tan Malaka menurut saya bung adalah salah satu orang yang paling berpengaruh pada pergerakan bangsa ini. Pria kelahiran Pandan Gading, Sumatra Barat tangga 19 February 1896 ini sebetulnya menempuh juga pendidikan formal yang mumpuni, setelah sebelumnya dibekali pendidikan agama oleh kedua orang tua beliau.

Melalui pergulatan pemikiran yang beliau alami ketika menempuh pendidikan di Belanda lah yang menjadikan beliau terlibat aktif dalam masa pergerakan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Dengan bekal informasi perkembangan Indonesia dari Belanda dan hasil diskusi dengan pemuda-pemuda belanda yang revolusioner akhirnya beliau memutuskan untuk berhenti meneruskan pendidikan dan pulang kembali ke tanah air.

Sepulangnya ke Indonesia, beliau kemudian tidak memilih untuk bergabung dengan kelompok elit pada masa itu, tapi justru terjun langsung di lapisan masyarakat paling bawah untuk sekedar merasakan berbagai penderitaan masyarakat sebagai korban dari kolonialisme itu sendiri. Adalah di tahun 1919 ketika beliau baru menginjak umur 18 tahun, bergabung dengan para buruh di perkebunan Deli sebagai guru.

Dan apakah bung tau, di umur yang sangat muda itu Beliau sudah diangkat menjadi pemimpin PKI pada kongres di tahun 1921. Walau begitu, beliaulah orang pertama yang menolak upaya pemberontakan tahun 1926/1927 yang dilakukan oleh Musso dan kawan-kawan.

Meskipun ini akhirnya menggoyang posisi beliau pada partai paling revolusioner saat itu. Sehingga akhirnya beliau mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok tahun 1927. Sekedar catatan (lagi) buat Bung dan kawan-kawan yang mengalami Phobia Komunisme pada waktu itu menyebutkan kata Republik Indonesia masih sangat tabu oleh Penjajah.

Sehingga tidak berlebihan jika Beliau bagi dunia kemudian disejajarkan dengan orang se revolusioner Jose Rizal dari Filipina atau Ho Chi Minh dari Vietnam. Ini karena konsistensi beiau dalam memperjuangkan Indonesia bebas penjajah selama 30 tahun walau harus berpindah-pindah dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, hingga Penang.