Brilio.net - Iya ini beneran, koran ternama Amerika Serikat, The New York Times (Nytimes) pada tanggal 20 Agustus kemarin merilis artikel dengan judul 'Jakarta, the City Where Nobody Wants to Walk'. Berita yang ditulis oleh Joe Cochrane ini berisikan alasan kenapa warga Jakarta tidak 'berselera' berjalan kaki dikutip brilio.net, Selasa (22/8).

nytimes Jakarta Malas Jalan © 2017 brilio.net

foto: nytimes.com

Berita itu dimulai dengan testimoni seorang warga Jakarta atas alasan kenapa dia tidak mau berjalan kaki. Dikutip dari nytimes.com, cewek bernama Dita(24) mengaku bahwa trotoar di Jakarta tidak aman untuk pejalan kaki. Mulai dari jalanan tidak rata, banyak penutup saluran pembuangan yang tidak ada, kabel listrik yang dibiarkan begitu saja, sampai kendaraan motor yang kerap lewat trotoar untuk menghindari kemacetan Jakarta.

nytimes Jakarta Malas Jalan © 2017 brilio.net

foto: nytimes.com

Berita kemudian dilanjutkan dengan fakta-fakta yang cukup menohok tidak hanya pemerintah namun juga warga Indonesia. Pertama, mengenai jalan yang minim memiliki trotoar. The New York Times mengutip data dari pemerintah lokal bahwa dari 7,2 kilometer jalan yang ada di Jakarta, hanya 7% yang memiliki trotoar.

Kedua, mengenai kondisi trotoar. Tim Althoff, seorang doktor dari Universitas Stanford mengaku bahwa trotoar di Jakarta masuk kategori buruk. "Motor naik ke trotoar. Sudah jelas kenapa banyak masyarakat tidak mau jalan," ujarnya.

nytimes Jakarta Malas Jalan © 2017 brilio.net

foto: merdeka.com

Ketiga, mengenai kualitas udara yang buruk. Koran itu bahkan menulis polusi di beberapa sudut kota Jakarta bahkan telah melewati level udara 'tidak sehat' menurut ukuran Amerika Serikat. Bisa dibayangkan betapa tinggi polusi di Jakarta?

Keempat, terlalu sering menggunakan kendaraan. Orang Indonesia terlalu sering menggunakan kendaraan baik bus, motor, atau mobil. Bahkan hanya untuk menempuh jarak 200 meter, mereka lebih memilih menggunakan motor.

nytimes Jakarta Malas Jalan © 2017 brilio.net

foto: youtube/riska dwi kurniati

Kelima, budaya malas berjalan. Ditulis bahwa banyak pendatang asing yang merasa 'ngeri' dengan budaya orang Indonesia satu ini. Misalnya, 'kebiasaan lama di mana orang lebih memilih naik elevator untuk naik-atau turun- ... dari pada naik tangga'. Atau etiket 'berdiri di satu sisi, berjalan di sisi yang lain' yang terlihat seperti kebiasaan asing bagi masyarakat Indonesia.

nytimes Jakarta Malas Jalan © 2017 brilio.net

foto: franyfatmaningrum.wordpress.com

The New York Times juga menyinggung kebiasaan masyarakat Indonesia yang hanya berdiri dan tidak berjalan ketika berada di travelator/eskalator datar. Padahal orang yang melewati travelator harusnya tetap berjalan karena memang fungsinya untuk mempercepat perjalanan. Bahkan ditulis, "Inilah alasan kenapa menebak orang Indonesia di bandara internasional Singapura sangat mudah. Orang Indonesia itu yang kalau naik travelator suka berdiri".

nytimes Jakarta Malas Jalan © 2017 brilio.net

foto: youtube/chumaidi home

Ternyata tidak hanya The New York Times yang menyinggung hal ini, Universitas ternama dunia, Stanford, telah melakukan penelitian tentang seberapa aktif masyarakat dari berbagai belahan dunia dan Indonesia termasuk pada rangking paling bawah dengan simbol warna merah. The New York Times mengutip data ini, dan membandingkan hasil dari Indonesia dengan Hong Kong dan China yang jauh di atas.

nytimes Jakarta Malas Jalan © 2017 brilio.net

foto: Activeinequality.stanford.edu

Bagaimana, menohok kan? Ini bisa menjadi pengingat untuk mulai mengubah kebiasaan buruk dan meningkatkannya menjadi lebih baik. Perlu disadari juga bahwa isu ini tidak hanya terjadi di Jakarta namun juga di berbagai daerah di Indonesia. Dengan kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat, perubahan ke arah yang lebih baik pasti akan cepat terlaksana.