Sebagian besar orang masih ada yang beranggapan bahwa jenis kelamin/seks dan gender memiliki arti yang sama. Padahal, pada kenyataannya kedua kata tersebut merujuk pada sesuatu yang berbeda. Jenis kelamin/seks merupakan bawaan dari lahir yang bersifat biologis (Burhan, 2019). Secara biologis, perbedaan laki-laki dan perempuan terletak pada karakteristik fisik (penis, vagina, payudara, jakun), kromosom, hormon, dan organ seksual (sperma dan ovum). Sedangkan gender didefinisikan sebagai perbedaan tugas, peran, fungsi, sifat, ciri dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk (konstruksi) oleh sosial-budaya (Marhumah, 2011). Gender dianggap sebagai kategori yang berdasarkan pada sifat feminitas dan sifat maskulinitas. Perempuan hanya diperbolehkan menjalankan fungsi perempuan dengan orientasi seksual feminin dan laki-laki hanya diperbolehkan menjalankan fungsi laki-laki dengan orientasi seksual maskulin (Tahar, 2012).

Secara umum, sifat feminitas yang melekat pada perempuan kerap kali diidentikkan dengan perhatian, penyayang, lemah lembut, peduli, mengalah, berkeinginan untuk mengasuh, serta emosional, sementara sifat maskulinitas yang melekat pada laki-laki kerap kali diidentikkan dengan orang yang kuat, rasional, otonomi, tegas, serta perkasa (Jalil & Aminah, 2018). Pandangan-pandangan terhadap perempuan dan laki-laki tersebut dapat memunculkan pembagian peran kerja yang dapat memisahkan antara peran perempuan dan peran laki-laki. Peran kerja yang dijalankan perempuan kerap kali mendominasi wilayah domestik, seperti memasak, mencuci baju, mengurus anak, membersihkan rumah, dll. Sedangkan peran kerja yang dijalankan laki-laki kerap kali mendominasi wilayah publik (Utomo, 2006).

Konstruksi gender yang membedakan peran, tugas, fungsi, sifat, ciri dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dapat terbentuk karena disebabkan oleh banyak hal, di antaranya yaitu karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, hingga dikonstruksi secara sosial-budaya dari jaman ke jaman sehingga dapat membentuk stereotipe mengenai bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berperan sesuai dengan nilai-nilai sosial dan kebudayaannya (Maryadi, 2020). Pada akhirnya, konstruksi perbedaan peran gender tersebut akan tertanam melalui proses pembentukan dan sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Puspitawati, 2013). Jalil & Aminah (2018) menyebutkan bahwa hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya orang tua yang membeda-bedakan pakaian maupun mainan-mainan anaknya dan apa yang pantas atau boleh bagi anaknya berdasarkan jenis kelaminnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center (2019) menemukan bahwa para orang tua kerap kali memberikan tugas berbeda berdasarkan jenis kelamin anak-anaknya. Misalnya, kegiatan memasak, berbelanja, dan melakukan pekerjaan rumah kerap kali dilakukan para ibu bersama anak perempuannya ketimbang dengan anak laki-lakinya. Sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan memperbaiki kondisi rumah yang rusak hingga kegiatan bersantai seperti menonton televisi kerap kali dilakukan para ayah bersama anak laki-lakinya ketimbang dengan anak perempuannya. Perlakuan yang dilakukan para orang tua terhadap anak-anaknya dalam membeda-bedakan kegiatan berdasarkan jenis kelamin anaknya dapat membuat anak-anaknya meniru (imitasi) pola-pola semacam itu di kala mereka dewasa, sehingga perbedaan peran gender ini akan terus berakar (Cigna, 2021).

Sebagai sebuah konstruk sosial-budaya, gender memang telah memberikan makna terhadap bagaimana laki-laki dan perempuan berperan di dalam masyarakat. Namun, perbedaan pembagian peran tersebut pada kenyataannya tidak didasarkan pada asas keadilan dan kesetaraan (Jalil & Aminah, 2018). Implikasi dari konstruksi perbedaan peran gender yang terus mengakar, akan dapat melahirkan diskriminasi gender (Burhan, 2019). Diskriminasi yang dimaksud adalah mendapatkan perlakukan yang berbeda. Misalnya, perempuan ditolak bekerja sebagai security karena dianggap bukan pekerjaan untuk perempuan dan tidak menunjukkan sifat feminitas, atau laki-laki ditolak bekerja sebagai make up artist (MUA) karena pekerjaan itu diidentikkan dengan perempuan dan tidak menunjukkan sifat maskulinitas. Apabila terjadi hal-hal semacam ini pada perempuan maupun laki-laki, mereka akan merasakan ketidakadilan akibat diskriminasi tersebut. Adapun bentuk-bentuk dari diskriminasi gender yakni, marginalisasi (peminggiran), subordinasi (penomorduaan), stereotipe, violence (kekerasan), dan beban kerja yang berlebihan (Tahar, 2012).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Program Pembangunan PBB (UNDP), ditemukan bahwa Indonesia memiliki tingkat kesetaraam gender yang rendah. Indonesia menempati peringkat 103 dari 162 negara atau masuk dalam tiga terendah se-Asean (Winahyu, 2020). Rendahnya tingkat kesetaraan gender tersebut sudah selayaknya menjadi perhatian bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk bersama-sama menyetarakan peran, tugas, fungsi, sifat, ciri maupun tanggung jawab baik pada laki-laki maupun perempuan. Misalnya, peran dalam mengurus anak dan membersihkan rumah yang biasanya dilakukan oleh perempuan dapat juga dikerjakan oleh laki-laki. Sebaliknya, pekerjaan seperti mencangkul dan menebang pohon yang biasanya dilakukan oleh laki-laki dapat pula dikerjakan oleh perempuan (Malau, 2015). Dengan demikian, tidak ada lagi sekat yang memisahkan antar peran tersebut. Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan memiliki peran, kedudukan, hak, kewajiban dan kesempatan yang sama, baik di lingkup masyarakat, keluarga, berbangsa dan bernegara (Malau, 2015). Hal ini juga sebenarnya sudah tercantum pada UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia sudah menjamin bahwa seluruh warga negara mempunyai hak yang sama (Puspitawati, 2013).