Ketakutan, stigma, dan penolakan (fear, stigma, and ignorance) adalah reaksi dunia saat terjadi epidemi HIV yang mengamuk di seluruh dunia pada awal 1980-an. Saat itu AIDS menewaskan ribuan orang yang hanya memiliki beberapa minggu atau bulan sejak didiagnosis sampai kematian datang, bahkan banyak juga yang tidak berhasil didiagnosis sampai mereka meninggal.

Bagai dua pembunuh yang sangat menakutkan, HIV/AIDS memang sulit dipisahkan. Karena pada dasarnya HIV adalah penyebab seseorang mengalami AIDS. Dilansir dari Wikipedia, Acqured Immune Deficiency Sindrom (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (Sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.

Human immunodeficiency Virus (HIV) memang sangat berbahaya dan menakutkan karena virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan segala infeksi. Dikutip dari Wikipedia,tanpa pengobatan, seorang dengan HIV bisa bertahan hidup selama 9-11 tahun setelah terinfeksi, tergantung tipenya. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defiseinsi (kekurangan) sistem imun.

Sudah 30 tahun peringatan hari AIDS sedunia selalu diperingati pada 1 Desember, hari yang diciptakan untuk meningkatkan kesadaran dan sekaligus upaya untuk selalu mengingatkan bahaya tentang HIV/AIDS. Dilansir dari detik.com, sejak awal epidemi, lebih dari 70 juta orang terinfeksi, dan sekitar 35 juta orang diseluruh dunia hidup dengan HIV, diantaranya 22 juta lainnya sedang mengalami pengobatan.

Ketidaktahuan dan juga kurangnya kesadaran akan bahaya HIV/AIDS juga menjadi permasalahn tersendiri. Dilansir dari voaindonesia.com,hampir satu juta orang meninggal setiap tahun akibat AIDS karena mereka tidak tahu kalau mereka mengidap HIV. Mereka tidak menjalani perawatan, atau bahkan baru memulai perawatan ketika sudah terlambat. Bahkan salah satu tantangan terbesar adalah HIV kerap menimbulkan dampak pada orang-orang terpinggirkan, demikian ujar Prof. Steffanie Strathdee, pakar di Universitas California di San Diego.

Ada populasi di seluruh dunia yang tidak terlayani dan ini termasuk pengguna narkoba dengan alat suntik dan pekerja seks, jelasnya.

Termasuk dalam kelompok ini adalah laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, transgender, narapidana, dan pasangan seksual dari orang-orang ini. Profesor Steffanie Strathdee mengatakan, orang-orang dalam kelompok berisiko tinggi ini lebih peduli tentang kebutuhan mendesak mereka, yaitu makanan, tempat tinggal, dan pekerjaan.

Penelitian saya dan penelitian di bidang ini benar-benar menunjukkan bahwa anda harus mengatasi masalah seluruh orang dan kebutuhan mereka untuk dapat menangani HIV sebagai salah satu masalah kesehatan mereka, imbuhnya.

Ini berarti negara-negara harus menyediakan hal-hal mendasar yang mencakup layanan kesehatan tanpa mempertimbangkan norma sosial dan moral. Jika tidak maka negara-negara harus menanggung biaya ekonomi dan sosial yang sangat besar akibat penyakit AIDS ini.

Hal terbesar yang kita pelajari dari pencegahan HIV dalam beberapa puluh tahun ini adalah tidak ada hal ajaib, tetapi ketika mengumpulkan banyak hal yang baik itu secara bersama-sama, akan menimbulkan dampak yang sama, tambahnya.

Upaya nyata untuk mengurangi penyebaran virus HIV memang harus dilakukan oleh pemerintah suatu daerah di mana pun itu. Contohnya saja di Prancis. Dilansir dari voaindonesia.com, Pemerintah Prancis, Selasa (27/11), mengumumkan akan mengambil langkah yang tidak biasa untuk menanggulangi penyebaran HIV dan penyakit-penyakit menular lainnya, yaitu konsumen bisa mendapatkan pengembalian uang apabila membeli kondom merek tertentu yang diresepkan dokter atau bidan, kantor berita AFP melaporkan.

Mungkin ini akan menjadi langkah bagus untuk mengurangi HIV di negara-negara lain. Misalnya saja di Indonesia memberikan hal yang sama, gratis kondom dengan merek tertentu dan memperbanyak sosialisasi tentang apa itu kondom dan fungsinya untuk apa, tentu sedikit banyaknya akan mengurangi penularan virus HIV dan penyakit seksual lainnya.

Penyakit seksual seperti HIV/AIDS memang bagai mimpi buruk bagi yang terinfeksi karena harapan untuk hidup lebih lama itu sangat kecil atau bahkan tidak ada harapan sama sekali. Namun tidak banyak yang tahu bahwa ternyata ada satu orang yang pernah sembuh dari HIV, yaitu Timothy Ray Brown, seorang warga Amerika.

Dilansir dari Idntimes.com, pada tahun 2007, Timothy akan menjalani transplantasi keseluruhan sumsum tulang belakang di Jerman untuk mengobatinya dari leukemia, kebetulan ia mendapat donor yang kebal terhadap HIV. Sel-sel induk yang ditransplantasikan membangun ulang sistem imun Timothy secara keseluruhan, menggantikan seluruh sel kankernya dengan sel-sel baru yang resisten terhadap HIV.

Tiga tahun setelah operasi tersebut, dan meskipun tidak lagi mengomsumsi obat-obatan anti retroviral, dokter tidak menemukan jejak virus sama sekali dalam darah Timothy, membuatnya secara fungsional sembuh dari kedua penyakit mematikan sekaligus.

Memang mengganti sistem kekebalan tubuh bukanlah pengobatan standar bagi pasien, baik itu secara biaya maupun risiko kegagalannya. Tetapi jika dokter mampu menyiasati dengan metode-metode yang lain seperti yang diujicobakan saat ini. Maka akan berpotensi memberikan kabar baik bagi 37 juta orang di seluruh dunia yang terinfeksi virus tersebut.

Sekarang pun telah terdengar kabar baik dari beberapa peneliti dari United Kindom (UK) menemukan obat untuk HIV. Seperti dilansir dari idntimes.com, sekelompok peneliti yang terdiri dari lima universitas secara tentatif telah mengumumkan bahwa tes tahap awal terhadap 50 pasien dalam menjalani jenis pengobatan baru, yang bertujuan untuk mencoba menyembuhkan penyakit secara keseluruhan, menunjukkan hasil tidak ditemukan virus sama sekali di dalam diri mereka.

Adapun 3 langkah utama pengobatan terbaru yang dilakukan untuk membunuh virus HIV tersebut.

1. Tahap pertama adalah dengan menggunakan obat anti-retroviral yang beredar saat ini untuk mencegah sel-T jenis sel dari sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi HIV dari memultiplikasi jutaan salinan virus dan untuk menjaga mereka tetap terkurung dalam sel.

2. Tahap kedua, mereka menginfeksi pasien dengan virus yang akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, memberikan peningkatan kemampuan untuk menemukan dan menghancurkan semua sel-T yang masih terinfeksi.

3. Tahap ketiga, mereka memberi pasien obat kedua yang dikenal sebagai vorinostat yang akan mengaktifkan sel-T yang tertidur, memaksa mereka untuk menghantarkan protein terkait HIV dan membuatnya lesu untuk meningkatkan sistem imun agar bisa langsung menghancurkannya. Teknik ini disebut kick and kill.

Tentu ini suatu kabar baik bagi penderita HIV, namun untuk lebih memastikan kesembuhan tersebut, butuh waktu lama untuk benar-benar meyakinkan, bahwa virus HIV telah hilang secara permanen baik sel aktif maupun sel yang tertidur dalam jangka waktu lama, bahkan tahunan.

Jika benar virusnya hilang dan sembuh dalam jangka waktu yang lama, barulah bisa kita benar-benar percaya dan berharap pengobatan tersebut disediakan untuk masyarakat umum, namun dengan harga yang tidak terlalu mahal agar bisa juga menjangkau kalangan menengah kebawah (kurang mampu).