Setiap hari, rata-rata murid di sekolahan, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta menghabiskan 6 jam waktu mereka untuk belajar di dalam kelas (Bahrul, 2019). Pelajaran yang mereka pelajari pun cenderung sama, berulang-ulang dan tentunya membosankan. Belum lagi, setelah menghabiskan 6 jam belajar mereka di sekolah, mereka harus juga mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru di sekolah.

Belajar di dalam kelas selama kurang lebih 6 jam memiliki dampak negatif dan positif bagi siswa. Hal ini dikarenakan tidak semua mata pelajaran dapat dipelajari dan dikuasai dengan metode belajar dan mengajar di dalam kelas (Santrock, 2011). Pelajaran yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis, menjadi hal yang memungkinkan untuk dikuasai di dalam kelas. Peran guru menjadi sangat penting sebagai sosok yang dapat secara langsung mengoreksi kesalahan yang dilakukan dan proses pengulangan membaca dan menulis baik di kelas maupun di rumah dapat meningkatkan kemampuan individu secara langsung (Santrock, 2011).

Namun, hal tersebut tidak berlaku pada mata pelajaran yang ilmu pengetahuan alam dan ilmu yang berhubungan dengan sosial. Mata pelajaran tersebut memerlukan praktik langsung untuk dapat memahami maksud materi yang ada. Tanpa praktik, siswa sering kali keliru mengenai pengertian sebuah materi (Santrock, 2011).

Sebagai contoh, siswa yang tidak pernah melihat secara langsung bentuk dari sebuah hewan misalnya cacing dan hanya mendapatkan informasi berbentuk tulisan dan penjelasan dari guru akan memiliki interpretasi yang berbeda tentang cacing dan interpretasi tersebut dapat berbeda di masing-masing individu. Dampak negatifnya yaitu murid akan mudah merasa bosan sehingga dapat menimbulkan stres di sekolah. Stres di sekolah dapat terjadi ketika seorang anak mempunyai tuntutan yang harus mereka penuhi di sekolah, menaati peraturan sekolah yang kaku dan ketat dan hal ini dapat berdampak pada rendahnya personal sosial atau kemampuan bersosialisasi siswa ke depannya (Prawitasih, 2017).

Dampak-dampak di atas akan berujung pada bentuk belajar siswa. Bentuk belajar siswa sendiri terbagi menjadi dua, deep style dan surface style. Deep style merupakan bentuk belajar di mana siswa mempelajari dan memahami secara benar materi pembelajaran. Pada bentuk belajar ini, akan termotivasi untuk belajar karena materi yang dipelajari berguna bagi siswa tersebut. Surface style merupakan gaya belajar siswa yang hanya sekadar tahu dan mengingat materi yang diajarkan. Bentuk belajar ini membuat siswa termotivasi belajar hanya untuk mendapatkan peringkat baik di sekolah dan orang tua (Santrock, 2011).

Siswa yang belajar di kelas selama 6 jam sehari memungkinkan untuk memiliki bentuk belajar deep style pada mata pelajaran yang berkaitan dengan membaca dan menulis seperti mata pelajaran Bahasa. Namun, bentuk surface style akan terlihat pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan ilmu yang berkaitan dengan sosial. Siswa akan mencoba menghafal semua nama-nama ilmiah di mata pelajara Ilmu Pengetahuan Alam tanpa mengerti apa maksud sebenarnya. Hafalan tersebut pun dilakukan hanya demi memiliki nilai yang baik.

Tidak dapat dipungkiri, siswa tidak dapat menolak sistem yang telah ada di sekolah. Bagaimana pun mereka akan tetap menjalani 6 jam waktu mereka di sekolah dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan. Namun, ada cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari sistem tersebut. Cara tersebut adalah berlibur ke tempat-tempat edukatif.

Berlibur ke tempat-tempat edukatif menjadi salah satu cara yang efektif dalam mengatasi kejenuhan belajar di dalam kelas dengan waktu yang lama. Hal ini dikarenakan, secara teori, manusia menerima informasi lebih baik dengan secara langsung melihat, mendengar, menyentuh, merasakan, menghirup sumber informasi yang ada (Lefrancois, 2012). Selain itu, jalan-jalan atau berlibur menjadi salah satu cara yang baik untuk mengurangi stres yang dimiliki (Utami & Rachmawati, 2019).

Jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat yang memiliki nilai-nilai sejarah dan pengetahuan seperti museum dan observatorium menjadi cara yang dapat dilakukan. Dengan mengunjungi tempat tersebut, siswa akan mengalami dan menerima langsung informasi mengenai sebuah peristiwa sejarah atau dapat secara langsung mengamati benda-benda langit yang biasanya hanya dapat dipelajari di dalam kelas, itu pun hanya berbentuk tulisan tanpa mengetahui bentuk dan gambaran asli dari benda-benda langit tersebut.

Jalan-jalan ini juga menjadi bentuk dari problem focused coping bagi siswa. Problem focused coping merupakan cara menyelesaikan sebuah masalah atau stres yang dialami dengan menyelesaikan masalah utama (Suardiantari & Rustika, 2019). Siswa akan belajar dengan bentuk deep style, mengerti dan memahami secara mendalam materi yang ada di museum atau di obsertavorium. Hal ini akan meningkatkan prestasi belajar siswa tanpa tertekan oleh materi yang hanya dihapal tanpa mengerti maksudnya dan tentu berlibur merupakan kegiatan yang menyenangkan.

Jadi, tunggu apa lagi? Akhir pekan ini lebih baik langsung pergi jalan-jalan dan berlibur ke tempat-tempat edukatif yang seru dan menyenangkan. Daripada di rumah, menghafal materi yang sama sekali tidak dimengerti dan hanya bikin pusing.