Desember lalu bagi umat Kristiani merupakan bulan penuh damai dan suka cita karena seluruh umat Kristiani menyambut kelahiran Tuhan Yesus Kristus 2000 tahun silam.Perayaan yang amat khidmat itu pun ternyata tidak saja dirayakan oleh umat Kristiani saja, tetapi juga umat beragama lain. Bagaimana mungkin? Ya, karena sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, khususnya di NTT (Nusa tenggara Timur), jika masyarakatnya memiliki kekerabatan dan ikatan kekeluargaan yang amat tinggi. Tidak heran, beberapa waktu lalu provinsi ini mendapat predikat provinsi paling toleran di Indonesia.

Saya percaya ada begitu banyak kisah-kisah toleransi di NTT, bahkan di dunia. Tetapi, izinkan saya melalui tulisan ini bercerita soal kisah Natal di kampung halaman, tempat kelahiran saya. Saya lahir di salah satu pulau terpencil di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Seperti diketahui, Provinsi NTT memiliki agama mayoritas Katolik, Kristen, diikuti Islam, Hindu, dan Budha. Selain itu, NTT juga memiliki keunggulan kompetitif lain yakni potensi wisatanya. NTT kemudian dikenal memiliki wisata bahari, alam, budaya dan religi yang mempesona.

Di antara ribuan ritus dan peninggalan bersejarah di NTT, salah satu yang mungkin belum banyak diketahui orang adalah peninggalan sumur yang terletak di Pulau Ternate, tepatnya di Umapura, Desa Ternate, Kecamatan Alor Barat Laut, Alor. Sumur ini diyakini warga setempat sebagai peninggalan Sultan Babulah dari Kesultanan Ternate, Maluku Utara. Diperkirakan, sumur itu dibuat pada tahun 1518, saat para Sangaji atau prajurit Kesultanan Ternate mengunjungi Pulau Ternate.

Peninggalan budaya ini memiliki kaitan erat dengan Alquran tertua di Asia Tenggara. Karena itu, rasanya belum lengkap jika menyebut Alquran kulit kayu tanpa menyebut sumur tua yang terletak di Kampung Umapura. Jika Alquran tua di Desa Alor Besar, Kecamatan Alor Barat Laut sebagai peniggalan Kesultanan Ternate, maka sumur tua di Umapura pun diyakini masyarakat setempat sebagai peninggalan Kesultanaan Ternatekalamenyebarkan agama Islam di Alor. Namun, sejauh ini keberadaan sumur itu hanya menjadi cerita lisan sebagaian masyarakat Pulau Ternate dan belum diketahui kalangan luas. Padahal, jika ditilik lebih mendalam, keberadaan peninggalan itu memiliki nilai-nilai kehidupan yang sarat makna--dan terus mengikuti perkembangan zaman--hingga kini.

Sumur yang unik.

Sumur yang memiliki kedalaman kira-kira 3040 meter ini bisa dibilang sangat unik--dari segi fisik--jika dibandingkan dengan sumur-sumur lainnya. Betapa tidak, permukaan sumur dibuat sangat lebar. Keliling lingkaran sumur kira-kira 40 meter, dan itu dibuat hingga kedalaman 4 meter. Sehingga untuk menimba air dari sumur itu, masyarakat tidak berdiri di permukaan paling atas, tetapi harus menuruni tangga ke kedalaman 4 meter, kemudian menggunakan penimba untuk mengambil air.

Sementara, dinding lingkaran Sumur dengan kedalaman 4 meter itu terbuat dari susunan batu-batu alam. Sekadar untuk nilai seni, juga untuk menghindari adanya longsor. Pada permukaan atas sumur kini telahdibuat pagar tembok keliling untuk menahan arus banjir dan menghindari hewan peliharaan warga yang (mungkin) jatuh ke dalam. Jika ada hajatan adatiah, pesta, Lebaran, atau Natalan, maka intensitas masyarakat untuk mengambil air di sumur itu akan meningkat drastis. Dan keunikan yang paling menarik adalah sumur itu digunakan masyarakat dua desa (kampung) yang berbeda agama (Kristen dan Islam).

Interaksipemeluk beda agama.

Umumnya masyarakat beragama Kristen maupun Islam di Ternate datang dari Pulau Pura di Kabupaten Alor. Karena itu, beberapa nama kampung di Pulau Ternate menggunakan nama suku yang berada di Desa Pura Selatan. Tiga Kampung tersebut adalah Biatabang, Bogakele dan Abangbul. Masyarakat di tiga kampung itu beragama Kristen Protestan. Sementara masyarakat di Umapura adalah pemeluk agama Islam. Nama Kampung Umapura memiliki arti rumah pura atau rumah orang-orang yang berasal dari Pulau Pura.

Hingga kini, masyarakat dua kampung, yakni Bogakele dan Umapura menggantungkan seluruh kehidupan mereka di sumur yang konon dibuat Prajurit Sultan Baabulah itu. Sedangkan, masyarakat Kampung Biatabang dan Abangbul menggunakan salah satu Sumur yang ada di Biatabang, Ibu kota Desa Ternate Selatan.

Meski demikian, sejak dahulu, masyarakat Bogakele dan Umapura selalu membangun interaksi di Sumur tersebut. Interaksi masyarakat beda keyakinan tersebut sebenarnya muncul setiap hari, tetapi sejauh yang saya lihat, interaksi itu pun kemudian berlanjut ke hajatan adatiah, peminangan, pernikahan, Lebaran, hingga ke Natal dan Tahun Baru. Jika ke sana, kamu bisa melihat setiap hari ada ibu-ibu, para pemuda atau anak-anak dari Kampung Bogakele yang notabene beragama Kristen berjalan kaki kurang lebih 2,5 km untuk mengambil air di sumur itu. Pertemuan dan interaksi masyarakat beda agama pun terbangun di sana sejak dulu hingga kini.

Sumur toleransi.

Tak hanya menjadi tempat interaksi antar masyarakat beda agama, sumur tua itu pun sesungguhnya telah menjadi wadah toleransi antar masyarakat pemeluk agama Kristen Protestan di Bogakele dan pemeluk agama Islam di Umapura. Betapa tidak, di tengah-tengah kehidupan bangsa hari-hari ini yang rentan terhadap intoleransi, masyarakat di sana tetap kokoh mempererat tali silahturahmi dan toleransi, salah satunya melalui sumur tua ini.

Seperti pada hari-hari biasa, jika Natalan tiba, intensitas penduduk Kampung Bogakele yang mengambil air di sumur itu akan semakin tinggi. Biasanya ada sekitar 5 sampai 10 orang yang menggunakan penimba untuk mengambila air bersamaan, sementara para ibu-ibu yang lain harus menunggu giliran. Tidak heran, jika debit air menjadi berkurang. Hal itu membuat orang atau ibu-ibu harus bersabar untuk mengambil air. Tak heran jika menurut beberapa penuturan ibu-ibu maupun para pemuda di sana, pernah terjadi ciutan atau riak-riak kecil yang hendak memicu konflik, tetapi hal itu tidak dibesar-besarkan dan hanya didiamkan atau dianggap angin lalu saja. Apalagi, jika Natalan tiba, umat muslim di sana juga amat toleran.

Mereka saling menyapa dan memberikan selamat bagi bagi umat Kristiani dalam menanti dan merayakan Natal. Hal itu dimulai dari sekadar saling menanyakan kabar, bernostalgia atau saling menolong, hingga tidak menyinggung perasaan satu sama lain di sumur itu. Maklum, ada puluhan bahkan ratusan orang yang datang mengambil air di sumur itu setiap hari, dan harus menunggu giliran untuk mengambil air, tetapi tak pernah terdengar pertengkaran, akibat salah paham, saling curiga dan lain sebagainya.

Saya menyaksikan sendiri keadaan sumur itu sewaktu masih kecil dan ketika menempuh sekolah dasar di sana. Jika ada waktu, umat muslim di Umapura akan mengunjungi umat Kristiani untuk langsung bersilahturahmi dengan keluarga besar umat Kristiani untuk memberi salam Natal. Semangat Natal itu tidak sampai di situ, umat Kristen biasa mengundang umat muslim untuk merayakan Natal di Gereja atau tahun baru yang digelar di halaman warga.

Begitupun umat muslim, mereka juga biasa mengundang umat Kristiani merayakan dan saling bersalam-salaman di Hari Raya Idulfitri. Seusai memberi selamat, ibu-ibu juga biasanya menyediakan isi tangan berupa dulang yang berisi beragam kue untuk dibawa pulang. Pada titik ini, tidak berlebihan jika saya menyebut bahwa sumur itu telah menjadi wadah toleransi. Karena itu, saya lebih senang menyebut sebagai sumur toleransi.

Betapa tidak, sumur tua itu telah menjadi tempat masyarakat membumikan nilai-nilai kerukunan dan hidup saling berdampingan sebagai sesama anak bangsa dalam semangat toleransi. Dan tentu sumur itu telah menambah kebahagiaan, suka cita, dan damai Natal bagi semua umat beragama di dusun nun jauh di sana.

Jadi, jika kamu ingin mengetahui betapa eratnya hubungan masyarakat di sana dalam bertoleransi, ayo liburan ke sana!