Di Indonesia,Stockholm Syndrome merupakan istilah yang masih sangat jarang diketahui. Sebenarnya, apa itu istilah Stockholm Syndrome?

Sebelum membahas apa itu Stockholm Syndrome, sebaiknya pahami terlebih dulu kisah di balik sindrom ini dan mengapa sindrom ini bisa muncul.Cerita bermula pada tahun 1973 di mana terjadi sebuah kasus perampokan bank di Sveriges Kreditbank di Kota Stockholm, Swedia. Dalam peristiwa ini, dua pelaku perampokan berhasil menyandera empat pegawai bank selama 131 jam atau sekitar 5 hari.

Stockholm Syndrome: Ikatan emosional korban penculikan terhadap pelaku

Setelah kedua pelaku berhasil ditangkap dan keempat pegawai bank dibebaskan, keempat korban ini diinterogasi oleh polisi terkait kronologi kasus perampokan tersebut. Seharusnya para korban ini akan senang membantu polisi dengan memberikan kesaksian, bukan? Terlebih kalau sampai si pelaku ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Namun, seorang konsultan psikiatri di kepolisian yang bernama Nils Bajerot mendapati adanya perilaku aneh dari korban-korban ini. Perilaku tersebut terlihat dari adanya upaya penolakan untuk bersaksi di pengadilan terkait kasus perampokan bank tersebut. Bahkan, para korban ini juga mengumpulkan uang untuk membela para perampoknya di pengadilan dan ingin mengunjunginya di penjara. Aneh. Bagaimana bisa korban penyanderaan justru ingin membela pelakunya?

Yang lebih anehnya lagi, salah satu korban yang bernama Kristin dilaporkan memiliki hubungan khusus dengan salah satu perampok yang bernama Jan-Erik Olsson. Dari rumor yang beredar di masyarakat pun, Kristin dan Jan-Erik Olsson telah menikah. Aneh sekali membayangkan korban penyanderaan justru menikah dengan pelakunya.

Nah, melihat keanehan ini, Nils Bajerot memperkenalkan istilah Stockholm Syndromekarena adanya fenomena aneh yang terjadi kepada keempat korban perampokan tersebut. Selain dari kejadian perampokan bank di Kota Stockholm, ada lagi kasus aneh yang mirip dengan fenomena tersebut. Kasusnya terjadi pada tahun 1974, di mana seorang gadis bernama Patty Hearst yang saat itu berusia 19 tahun diculik oleh tiga anggota Symbionese Liberation Army (SLA).

Dikutip dari Encyclopaedia Britannica, SLA sendiri merupakan gerakan radikal sayap kiri yang berbasis di Amerika Serikat. Kasus penculikan ini sempat menggemparkan masyarakat Amerika pada masanya karena yang diculik adalah cucu dari William Randolph Hearst, seorang konglomerat pendiri perusahaan media massa terbesar di Amerika Serikat.

Stockholm Syndrome: Ikatan emosional korban penculikan terhadap pelaku

Pada kasus penculikan ini, SLA diduga melakukan tindak kekerasan kepada Patty dan mencuci otaknya. Kemudian, memaksa Patty Hearst untuk membuat video pernyataan publik terkait kecaman atas sistem kapitalisme yang dilakukan oleh familinya sebagai pemilik media massa terbesar di Amerika Serikat.

Tak hanya itu, para penculik ini pun meminta uang tebusan kepada orang tua Patty sebesar dua juta dollar Amerika. Selanjutnya, pada bulan April 1974, mungkin akibat efek dari pencucian otak tersebut, Patty Hearst bergabung dengan SLA untuk membantu merampok sebuah bank di San Fransisco dan sebuah toko di Los Angeles. Akhirnya, pada September 1975, Patty berhasil ia ditangkap oleh polisi dan membuat fenomena Stockholm Syndrome semakin popular di kalangan masyarakat.

Stockholm Syndrome: Ikatan emosional korban penculikan terhadap pelaku

Dari kedua kasus di atas, terdapat dua gejala umum yang menimbulkan keanehan dalam diri korban. Gejala tersebut di antaranya adanya perasaan positif berupa adanya rasa empati dan simpati dalam diri korban terhadap pelaku. Sedangkan kepada orang yang telah menyelamatkan para korban ini seperti polisi dan pihak berwenang lainnya, korban justru memiliki perasaan yang negatif.

Kalau dipikir dengan akal sehat, seharusnya korban cenderung merasa trauma dan takut dengan pelaku. Tapi, kenapa dalam fenomena ini koban malah memiliki perasaan positif terhadap pelaku?

Nah, menurut seorang Psikolog Klinis bernama Dr. Joseph M. Carver dalam artikelnya yang berjudul Love and Stockholm Syndrome: The Mystery of Loving an Abuser, munculnya sindrom ini juga sebagai salah satu bentuk usaha korban untuk bertahan hidup.

Apabila dikaitkan dengan mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang dipopulerkan oleh Sigmund Freud pada tahun 1936, Freud menjelaskan jika dalam pemikiran bawah sadar manusia terdapat upaya untuk melindungi dirinya dari situasi yang mengancam keselamatan dirinya.

Misalnya, ketika seseorang diculik, korban secara tidak sadar akan memohon simpati kepada sang penculik sebagai suatu upaya mekanisme pertahanan diri. Hal ini dilakukan agar korban setidaknya memiliki peluang untuk bertahan hidup mapun melarikan diri dari bahaya.

Sindrom yang sangat aneh, bukan?