Amputasi adalah prosedur pengangkatan anggota tubuh yang melibatkan proses pemotongan dengan tujuan penyelamatan jiwa seseorang. Prosedur amputasi ini umumnya disebabkan oleh infeksi berat pada anggota gerak tubuh, gangguan sirkulasi darah yang menyebabkan kematian, trauma, dan beberapa alasan medis lainnya. Akan tetapi prosedur amputasi ini sering kali memiliki efek samping atau dampak yang berkelanjutan pada penderitanya. Misalnya seperti sulitnya mobilitas karena kemunduran fungsi tubuh, adanya gangguan kecemasan atau menurunnya kepercayaan diri, bahkan juga sindrom phantom limb.

Sindrom phantom limb adalah keadaan di mana seseorang dapat tetap merasakan pengindraan pada bagian tubuh yang hilang atau sudah diamputasi. Disebut dengan phantom limb atau yang berarti kaki tangan hantu karena kita dapat tetap merasakan keberadaannya meskipun anggota tubuh tersebut sudah tidak ada.

Sindrom phantom limb: Gejala, penyebab, dampak, & cara mengatasi

Phantom limb umumnya diklasifikasikan sebagai sindrom neuropatik, yaitu penyakit atau gangguan pada saraf tubuh. Menurut data NCBI (National Center for Biotechnology Information), phantom limb ini sendiri dialami oleh 60-80% dari pasien yang menjalani amputasi. Sindrom ini tak hanya menimbulkan rasa nyeri tetapi juga rasa terbakar, gatal, kebas, ditusuk tusuk, rasa seperti ditekan, kram, dan masih banyak sensasi lainnya. Selain itu karakteristik lainnya yaitu durasinya dapat konstan atau dapat terjadi datang dan pergi. Umumnya fenomena ini berlangsung selama enam bulan pasca amputasi ataupun baru dirasakan setelah beberapa bulan berikutnya, namun bagi sebagian orang sindrom ini dapat terjadi secara berkelanjutan sampai bertahun tahun lamanya.

Dilansir dari Ucla Health, hanya 5-10% penderita yang mengalami kasus phantom limb serius dan berkelanjutan. Meski angkanya kecil, bagi para penderita, sindrom ini sangatlah mengganggu. Seperti halnya ketika kita merasa gatal pada bagian tubuh yang tidak terjangkau, kita akan langsung buru-buru untuk meminta bantuan. Coba bayangkan apalagi jika bagian tubuh tersebut nyatanya tidak ada tetapi rasa gatal dan nyerinya tetap bertahan. Meskipun umumnya terjadi setelah amputasi, phantom limb juga dapat dirasakan setelah pengangkatan anggota tubuh lainnya seperti payudara, lidah, gigi, dan mata.

Fenomena rasa nyeri setelah amputasi pertama kali tercatat secara resmi pada abad ke-16 pada pasien tentara Prancis, kemudian di abad ke-19 rasa nyeri tersebut diidentifikasi sebagai phantom limb syndrome. Barulah semenjak itu para ilmuwan mulai menaruh fokus dan perhatian pada fenomena phantom limb ini.

Sampai saat ini masih belum ditemukan penyebab pasti yang menyebabkan sindrom ini. Namun dapat diusut beberapa hipotesis kuat yang melatarbelakangi terjadinya phantom limb. Penyebab pertama adalah dikarenakan adanya kekacauan pengiriman sinyal dari saraf periferal (saraf tepi) menuju saraf pusat dalam upaya cortical reorganization atau penyesuaian keadaan yang baru. Berdasarkan hipotesis ini, ketika kita mengalami kehilangan anggota tubuh, saraf saraf yang terletak pada korteks somatosensori yang seharusnya menangkap sinyal dari saraf periferal bagian tubuh yang hilang kemudian menjadi berupaya menangkap sinyal di daerah terdekat atau ujung area amputasi. Kemudian sinyal tersebut diproses sebagai stimulus yang ditangkap dari bagian tubuh yang sudah hilang. Hal ini menyebabkan otak memiliki persepsi bahwa bagian tubuh tersebut masih ada sehingga sering kali ketika kita menyentuh anggota tubuh lain, bagian tubuh yang sudah diamputasi akan ikut pula merasa disentuh.

Lalu hipotesis yang kedua menyatakan bahwa sejak awal otak kita sudah memiliki peta atau representasi internal anatomi tubuh kita, di mana hal ini akan membantu kita dalam bergerak atau memosisikan tubuh. Hipotesis ini juga memvalidasi pernyataan bahwa seorang tuna daksa sejak lahir pun memiliki kemungkinan untuk dapat merasakan phantom limb syndrome karena sejak awal otaknya sudah ter-setting mengenai peta tubuh yang lengkap. Namun jika kondisinya adalah pasien amputasi atau ketika ada anggota tubuh yang hilang secara mendadak, otak kita juga tetap mengingat tubuh kita sebagai suatu keadaan yang masih lengkap sehingga menyebabkan asumsi alam bawah sadar bahwa anggota tubuh yang hilang masih ada.

Hipotesis ketiga adalah faktor psikologis di mana seseorang yang kehilangan anggota tubuhnya akan merasakan kesedihan atau stres yang mendalam karena kejadian tersebut sehingga memengaruhi saraf simpatiknya.

Pada rutinitas sehari-hari, penderita phantom limb syndrome menyatakan bahwa serangan rasa nyeri, gatal, kebas, dan lainnya dapat dipicu oleh beberapa kegiatan. Di antaranya adalah sentuhan pada area yang diamputasi, stres, kebiasaan merokok, melakukan hubungan seks, buang air kecil atau besar, paparan udara dingin, ataupun perubahan udara secara signifikan. Namun meskipun serangannya dapat dengan mudah terpicu tapi penanganannya justru tergolong sulit.

Sampai saat ini, setelah dilakukan penelitian survei besar pada pasien amputasi, perawatan rasa nyeri ini rupanya tidak berjalan secara efektif. Upaya optimal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan anastesi anestesi lokal, simpatektomi, dorsal-root, lesi entry-zone, kordotomi dan rhizotomy, metode neurostimulasi, atau farmakologis Intervensi seperti antikonvulsan, barbiturat, antidepresan, neuroleptik, dan relaksan otot. Tak hanya itu, prosedur non-obat pun seperti terapi fisiologis, hipnosis, dan terapi cermin juga menjadi salah satu upaya untuk menyembuhkan sindrom ini. Cara kerjanya adalah dengan cara memengaruhi pemahaman otak mengenai sinyal-sinyal atau stimulus dari anggota tubuh yang sudah hilang ini. Selain itu penggunaan anggota tubuh palsu atau prostesis fungsional juga dinilai dapat membantu mengurangi rasa nyeri dengan melatih otot otot bagian tubuh yang diamputasi. Namun meskipun sindrom ini mengganggu, menurut penjelasan medis sindrom ini tidak berbahaya bagi keselamatan penderitanya.