Kebahagiaan merupakan hal yang bisa ditumbuhkan oleh setiap individu dengan salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu optimis terhadap segala hal yang dilakukan (Yudantara dalam Herbyanti, 2009). Namun optimisme itu sendiri realitanya tidak datang semudah pengucapannya. Kebahagiaan seolah sudah menjadi tujuan hidup semua orang di muka Bumi hingga dilakukan banyak cara untuk meraihnya.

Namun dalam kehidupan, seorang individu akan dihadapkan dengan jutaan rintangan dan realita yang tidak selamanya sesuai atau sejalan dengan ekspektasi, harapan, atau rencana. Walaupun semua dinamika itu adalah hal wajar, sadar atau tidak disadari rupanya proses jatuh dan bangkit yang berulangkali dialami seorang individu memengaruhi kebahagiaan individu itu sendiri yang kerap diasosiasikan dengan rasa optimis maupun sebaliknya yaitu keputusasaan.

Kita sudah tidak lagi asing dengan kepercayaan di mana materi akan membawa kebahagiaan, keberhasilan akan membawa kebahagiaan, kekayaan, kemenangan, ketenaran, dan lain sebagainya. Namun rupanya banyak yang belum memahami konsep yang sebenarnya dan rupanya tidak banyak yang mengetahui langkah utama dan terpenting yang menjadi kunci dari kebahagiaan.

L.W. Sumner memandang authentic happiness sebagai ralat atas kesulitan-kesulitan yang dihadapi teori hedonistik dan teori keinginan yang menekankan pada pengalaman subjektif dan kekuasaan pribadi. Ia mengidentifikasi well being atau tingkat kesejahteraan tertinggi yang dialami seorang manusia dengan authentical happiness. Kebahagiaan tersebut dapat diartikan sebagai sebuah subjective well being sebab pendefinisiannya yang tidak memiliki batasan jelas namun nyata benefitnya (Rusdiana, 2017).

Authentic happiness diukur berdasarkan empat indikator kebahagiaan menurut Myers (dalam Rusdiana, 2017), yaitu:

1. Mampu menghargai diri dan mencintai sendiri sepenuhnya.

2. Sikap optimis.

3. Sikap terbuka dan kemampuan bersosialisasi.

4. Kemampuan mengontrol dan mengendalikan diri sendiri sepenuhnya.

Berbicara mengenai hakikat psikologis manusia yang selalu ingin mencintai dan dicintai, seorang individu harus dapat mencintai dirinya secara utuh dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Mengapa demikian?

Karena untuk menjadi orang yang bahagia, kita pertama kali harus menciptakan pikiran yang membahagiakan (positive mind) tidak hanya terhadap dunia, namun juga terhadap diri kita sendiri. Sebab hal tersebut akan memengaruhi bagaimana pandangan kita akan segala yang terjadi di sekitar kita dan memengaruhi pandangan kita akan bagaimana kita merespon segala bentuk perubahan dan perlakuan dunia terhadap diri kita sendiri. Jika indikator pertama menuju authentic happiness sukses, maka ketiga indikator lainnya akan datang dengan sangat mudah dan tanpa disadari. Apakah yang menjadi penyebabnya?

Meraih kebahagiaan authentic hingga dapat mencintai orang lain, berdamai dengan dunia, dan merasa kebahagiaan yang tulus haruslah dimulai dari memprioritaskan diri kita sendiri terlebih dahulu. Self love adalah istilah atau sebutan lain untuk 'mencintai diri sendiri' di mana kata itu sendiri memiliki makna yang lebih dalam. Kita harus mencintai diri kita sendiri terlebih dahulu dengan bersikap realistis dan jujur menerima segala kelemahan yang ada di dalam diri kita (Fromm dalam Putri, 2019).

Self love adalah sebuah tindakan di mana kita mampu mengapresiasi diri dalam perkembangan fisik, psikologis, dan spiritual dengan cara menerima secara sepenuhnya akan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dan kemudian menanamkan rasa kasih sayang untuk diri sendiri (Khoshaba dalam Putri, 2019).

Dengan tidak adanya kepercayaan diri yang cukup, rasa ragu akan diri sendiri, merasa kurang bagus, dan lain sebagainya, kesehatan mental seorang individu dapat terganggu dan individu dapat berpikir untuk mencari segala cara negatif agar dapat merasa lebih baik ataupun menghukum diri sendiri (Tanmas, 2019). Ditambah realita dimana kita hidup dalam tekanan dan dibawah kontrol tuntutan standar sosial sehingga membuat individu cenderung mengesampingkan diri dan tidak mencintai diri sendiri karena tekanan untuk menjadi pribadi yang sebenarnya bukan dirinya yang sesungguhnya atau bukan dirinya yang ia banggakan. Hal tersebut embuat diri kita fokus membentuk topeng untuk memenuhi standar yang diharapkan orang lain untuk mendapatkan pengakuan dan menghindari penolakan (Tanmas, 2019).

Mencintai diri sendiri memang bukan perkara mudah dan mungkin dalam prosesnya memakan waktu bertahun-tahun mengingat tidak semua orang dibekali dengan kemampuan psikis dan coping mechanism yang terbilang baik untuk melakukannya di tengah banyaknya tuntutan dan tekanan dalam lingkup setiap individu. Namun tidak ada kata terlambat untuk melakukan hal baik yang memberikan buah baik pula kepada diri sendiri dan cara pandang pribadi yang lebih baik mengenai dunia terlepas apa pun situasi maupun realita yang dihadapi.

Mencintai diri sendiri tidak selalu hanya mengenai memanjakan diri saja seperti berbelanja untuk diri sendiri dan lain sebagainya, namun meliputi pemahaman diri hingga hati terdalam. Menerima kelebihan beserta dengan kekurangan mulai dari fisik luar yang terlihat, masa lalu yang telah mengubah kita, hingga segala bentuk kekurangan yang dimiliki diri sendiri.

Menyadarkan diri akan pentingnya memeluk dengan tulus diri sendiri layaknya bagaimana kita memeluk kerabat dekat atau sahabat dengan penuh rasa kasih sayang dan penerimaan bukanlah hal sepele. Jika kita sudah mampu melakukannya, tentunya kita akan menjadi pribadi yang lebih optimis karena kita yakin bahwa dengan segala dedikasi, usaha, dan pengorbanan, segala hal akan berjalan dengan baik, dan jika tidak, pasti tetap ada hikman atau buah yang jatuh di kemudian hari atau di kesempatan berikutnya. Beratnya dinamika yang dijalani seorang individu akan tak lagi dianggap menjadi beban apabila dirinya dapat mengapresiasi diri sendiri dengan baik dan dibarengi dengan optimisme yang akan datang mengikuti secara otomatis dan tidak disadari.

Begitu pula dalam menjalani keseharian sebagai menusia sosial yang tak akan pernah luput dari manusia lainnya. Bekerja sama, membangun relasi yang sehat, dan bersosialisasi secara umum pun akan menjadi hal yang mudah pula apabila seorang individu yang telat menerapkan self-love dan memiliki optimisme tinggi. Rasa kepedulian, rasa ingin tahu, rasa bersaing sehat, rasa ingin membantu, dan bentuk relasi lain akan muncul tanpa disadari karena relasi yang baik dengan sesama adalah salah satu kunci dari luasnya pengalaman berinteraksi. Sehingga kemudian ranah pendidikan, perdagangan, maupun pekerjaan apa pun akan menjadi terasa lebih mudah dan tekanan yang dahulu dapat mengganggu kesehatan mental, seperti sulitnya menghadapi orang yang egois, menipulatif, dan lain sebagainya kemudian akan menjadi lebih ringan dan bahkan malah menjadi kebutuhan. Sebab adanya tantangan yang setiap harinya menjadi motivasi untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik dan berguna untuk sesama.

Kemudian seorang individu juga dalam prosesnya akan terus melakukan evaluasi diri melalui pengalaman. Namun evaluasi yang dilakukan akan jauh lebih efektif setelah ia telah menerapkan dan menanamkan self-love pada dirinya sendiri. Karena impian untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik dari hari sebelumnya demi mencintai diri sendiri lebih dalam dari sebelumnya pula akan terbentuk secara otomatis.

Dengan proses evaluasi diri tersebut, tentunya menerapkan pengontrolan diri akan segala bentuk tindakan atau ucapan merupakan salah satu metode yang digunakan. Memegang kendali dan kontrol penuh akan diri sendiri akan terasa semakin mudah, bahkan pada hal-hal yang berat baginya sebelumnya seperti amarah, iri, tidak sabar, kecewa, dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Karena kemudian individu akan mencari hikmah dari alasan atas perasaan-perasaan negatif yang manusiawi tersebut dan akan terus berusaha hingga mendapatkan hasil yang sesuai target atau ekspektasi tanpa melibatkan prokrastinasi dalam bentuk apa pun.

Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa authentic happiness nyatanya sudah digenggam walau dalam proses penyempurnaan self-love itu sendiri sekalipun. Sebab individu tersebut akan terus melihat sisi positif dari suatu kejadian, senantiasa optimis terlepas apa pun target pribadi yang dimiliki dan apa pun hasil dari usahanya, memahami dan terus menjalin relasi yang baik dengan sesama terlepas karakter dan sifat orang-orang yang ada di sekitarnya, dan yang terakhir adalah individu memiliki pengendalian yang baik terhadap diri sendiri.

Seorang individu yang mengutamakan self-love akan senantiasa terus berkembang dan memperbaiki diri seiring waktu hingga kemudian berdamai dengan dunia dan segala baik dan buruknya, menerima, dan memahami layaknya ia pada dirinya sendiri.