Pembahasan mengenai kreativitas seperti biasa akan erat kaitannya dengan perspektif psikologis dalam mengkaji perkembangan pribadi seseorang. Beberapa hal yang menarik dalam pembahasan kreativitas menurut Simonton adalah keterkaitannya dengan segi kesejarahan Eropa pada masa Yunani Kuno dan Romawi. (Whitehead, 1978; Simonton). Meskipun terdapat generalisasi kecenderungan tradisi filosofi Eropa yang sering mengaitkan pembahasannya dengan pemikiran Plato dll., pada pembahasan kreativitas berdasarkan perspektif psikologi jarang sekali ditemukan kaitan dengan tradisi yang dimaksud. Menurut Simonton, hal tersebut berkaitan dengan kesan kreativitas yang berada pada posisi yang sangat hebat dalam pandangan para pemikir Eropa Klasik seperti Plato dll. Baik itu Plato ataupun Aristoteles atau ahli lain dalam zaman yang sama tidak memiliki pemikiran yang benar-benar berkaitan dalam lingkup kajian kreativitas.

Menurut Simonton (2001: hlm.3), jarangnya kajian tentang kreativitas yang berkaitan dengan ragam pemikir Yunani kuno kemungkinan disebabkan oleh persepsi kreativitas pada saat itu dianggap sebagai hal yang berkaitan dengan mitos kedewaan. Namun pada pembahasan lainnya, Simonton menyebutkan Muse sebagai perwujudan ide kreatif seseorang. "Each Muse was thought to provide a guiding spirit or source of inspiration for the mortal creator. This usage underlies several commonplace expressions, such as to say that one has lost ones Muse when one has run out of creative ideas." (Simonton, 2001: hlm. 3).

Simonton juga mengaitkan Muse yang dimaksud dengan kreasi yang dilakukan oleh manusia dalam bentuk puisi, musik, tari, astronomi, dll., Simonton juga menyebutkan Muse tersebut berkaitan dengan sebuah doktrin tentang kreativitas seseorang yang selalu disertai oleh ragam kekuatan spiritual yang membimbing dan memberikan inspirasi kepada manusia. Anggapan tersebut menguatkan persepsi tentang tingkatan kreativitas manusia bersifat subordinat dibandingkan dengan kapasitas kreasi para Dewa.

Secara spesifik, Simonton juga menjelaskan bahwa Muse dalam konteks pembahasannya dimaksudkan sebagai suatu bentuk pembimbing spiritual yang memberikan inspirasi bagi seseorang dalam berkreasi. Selain dalam tradisi Yunani, kedekatan kajian kreativitas yang sama juga terjadi pada tradisi Romawi. Simonton menyebutkan dalam mitologi Roma, setiap individu telah dibekali sosok pembimbing spiritual dari sejak mereka lahir yang mengawasi nasib dan perkembangan diri seseorang. Pandangan kreativitas dari kedua budaya tersebut dillihat begitu tinggi berkaitan dengan ragam mitos para Dewa dan suatu kreativitas dianggap sebagai pemberian dari para Dewa, roh, dan bukanlah tindakan yang dibuat olah manusia.

Perkembangan keilmuan di zaman modern membangkitkan perspektif lain terhadap kreativitas. Ragam pergeseran yang terjadi menurut Simonton (2001: Hlm. 4) menggeser imaji devinitas akan kreativitas menjadi bentuk aplikasi dari logika yang ketat. Fenomena tersebut berkaitan juga dengan kemunculan pemikir baru dengan kepentingan sosial yang muncul pasca revolusi industri dan ragam perkembangan metode sains. Kemunculan pemikir seperti Bacon dan Descartes memberikan penekanan lain yang menggeser pandangan-pandangan Devinity yang sering berkaitan dengan pemikiran Plato dkk., (Simonton). Dalam pandangan kesejarahan mengenai kreativitas, telah memunculkan tiga kelompok paradigma utama yang diyakini berkaitan dengan kreativitas dan proses kerja yang dilakukan.

Pada pembahasan lain, Glaveanu (2010) secara kesejarahan menyebutkan tiga masa pendefinisian yang telah terjadi sepanjang sejarah pengkajian tentang kreativitas. Pendefinisian tersebut berkaitan dengan kecenderungan pandangan pada zamannya terhadap kreativitas yang awalnnya memegang paradigma The He-Paradigm tentang sosok The Lone Genius, The I-Paradigm tentang kreativitas yang muncul dari individu spesial, dan The We-Paradigm yang berkaitan dengan Perspektif Psikologi Sosial terhadap kreativitas.

1. The He-Paradigm; The Lone Genius.

Pandangan ini sering berkaitan dengan berbagai romantisme masa lalu mengenai figur mistis manusia. Seseorang yang kreatif adalah orang yang memang dilahirkan untuk memiliki bakat khusus yang jauh berbeda dengan orang lain pada umumnya. Romantisme mengenai subjek jenius yang dipandang secara khusus dan eksklusif dengan karakter diri yang kuat seperti halnya para seniman zaman dulu.

Kehadiran figur kreatif dalam "He Paradigm" seperti penerapan khusus dari rencana Tuhan untuk memunculkan figur penting "The Lone Genius" dalam struktur sosial masyarakat. Mereka adalah figur eksklusif yang bakat dan kreativitasnya tidak dapat disamakan dengan orang biasa dan memiliki kualifikasi yang sangat hebat.

"Creativity is from this perspective exclusivist because only few are chosen for it (initially by God, later on by their biology), and the very few that are must, as a prerequisite, stand apart from the masses because of their capacities." (Glaveanu, 2010:3).

Paradigma tersebut sering mengambil referensi dari berbagai orang yang menjadi Culture Hero yang melahirkan banyak terobosan penting dalam masyarakat.

"Schaffer (1994) argued againts the mythologies of the genius or what she calls the culture hero and the fetishism of discovery." (Glaveanu, 2010:3)

Selain itu, mereka juga cenderung menyandang label sebagai orang jenius yang sering disalahpahami oleh orang lain, eksentrik, dan bahkan antisosial.

"As Montuori and Purser (1995, p. 76) argue, the fate of the genius is often represented as that of a person who is misunderstood, eccentric and even anti-social." (Glaveanu, 2010:3)

Dalam lingkup personal mereka terwakilkan dengan figur seperti da Vinci, Michael Angelo, Thomas Edison, Einstein, dll. Sedangkan dalam lingkup komunal mereka dipandang seperti kelompok khusus seperti secret society atau mitos tentang Iluminati. Figur kreatif dalam paradigma ini berbeda dengan figur kreatif lainnya. Figur ini merupakan figur yang khusus dilahirkan dan diberikan hak untuk memiliki bakat spesial oleh Tuhan.

2. The I-Paradigm; The Creative Person.

Berbeda dengan paradigma mengenai figur mistis yang disebutkan sebelumnya, pandangan ini lebih menekankan nilai manusia dalam mendefinisikan kreativitas. Menjadi kreatif memang memerlukan bakat khusus, tapi bukan berarti sesuat kemampuan yang muncul tiba-tiba tanpa proses pengembangan pribadi yang dilakukan secara terencana.

"It is what can be referred to as a 'democartization' of creativity." (Bilton, 2007; Hulbeck, 1945; Weiner, 2000).

Semua orang dapat mencapai titik paling puncak dari mitos figur kreatif dan menjadi culture hero karena kemampuan ini dianggap sebagai suatu proses perkembangan diri, bukan terlahir dengan bakat dan hak kreatif.

"Everyone is capable of being creative since it is no longer a capacity of the few chosen by God, biology or unique psychological features..." (Glaveanu, 2010: 4).

Upaya penguraian mitos kreatif dalam psikologi sering dikaitkan dengan landasan yang dibangun oleh Guilford. Gugusan mitos yang menggulung tentang kreativitas diuraikan dalam domain spesifik yang dapat ditelaah dengan ilmiah seperti sekarang.

3. The We-Paradigm; perspektif psikologi sosial terhadap kreativitas.

Ini merupakan perspektif sosial dalam memandang kreativitas dan keberbakatan yang dimiliki seseorang. Kreativitas merupakan kemampuan pemecahan masalah yang ditemui dalam kehidupan sosial sekarang. Kreativitas dalam pandangan ini dapat merupakan hasil dari interaksi dan kolaborasi dalam lingkup sosial.

"Along with these a new vocabulary emerged, one bringing to the front termss such as social creativity, the creativity that is the result of human interaction and collaboration." (Purser & Montuori, 2000)..."We-Paradigm acknowledge the social nature of creativity." (Purser & Montuori, 2000), "A process that sprus out of transactions between self and others, self and environment." (Glaveanu, 2010: hlm. 5)

Kreativitas merupakan hasil dari proses yang terjadi dalam transaksi sosial secara luas, masif, terstruktur, dan sistemik. Dalam perspektif lain terhadap kreativitas, Darwin menganggap kreativitas sebagai suatu upaya organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Pandangan lain yang masih berkaitan dengan teori Darwin memberikan kedalaman rincian yang menunjukkan upaya evolutif yang dilakukan manusia. Proses evolusi dalam lingkup di luar diri manusia berkaitan dengan interaksinya dengan lingkungan sosial. Evolusi sosial merupakan hasil dari suatu interaksi dari dua kubu penentu faktor utama kemunculan fenomena. Dalam lingkup individual, seseorang dapat dianggap secara otomatis telah terberkahi oleh ragam kemampuan (Gifted) yang dapat berasal dari interaksi kedua faktor pengaruh yang telah disebutkan. Permasalahan yang menjadi penting kemudian adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang tersebut untuk mengambil inisiatif dan melakukan upaya yang berarti untuk menolak atau menerima dan mengaktifkan berkah tersebut. Sementara permasalahan hasil yang didapatkan dapat dilihat dari rentang pengaruh yang muncul secara sosial yang menunjukan kualitas keputusan yang diambil berkaitan dengan berkah tersebut.

"Social evloution is a resultant of the interaction of two wholly distinct factors: the individual, derive his peculiar gifts from the play of psychological and infra-social forces, but bearing all the power of initiative and origination in his hands; and, second, the social environment, with its power of adopting or rejecting both him and his gifts." (James, 1880; Simonton, 2001: hlm. 6)

Ketepatan dan keberhasilan seseorang dalam menetapkan keputusan yang baik dan kemudian melakukan upaya untuk memprosesnya dapat dianggap sebagai suatu bentuk kreativitas dalam cakupan yang luas. Di sisi lain, Galton yang mendasari pandangannya dari teori Darwin menetapkan perkembangan manusia berkaitan dengan faktor keturunan dan upaya pembentukan pribadinya secara continuous. Meskipun seseorang memiliki garis keturunan yang baik dalam segi intelektual, namun orang tersebut tidak pernah melakukan upaya evolutif yang menantang dirinya untuk berkembang, kemungkinan besar nilai keberbakatan dalam dirinya akan hilang. Begitu juga dengan pola evolutif pada kemungkinan yang berlawanan.

Berdasarkan pandangan tersebut, permasalahan berkaitan dengan segi nature dan nurture yang biasa terdapat dalam landasan upaya pendidikan yang dilakukan oleh manusia. Pada perkembangan berikutnya dalam pembahasan mengenai kreativitas, peran psikologi semakin dominan dalam membangun disiplin keilmuan tentang kreativitas.