Jamu sebagai alternatif untuk memenuhi kesehatan dan kecantikan kian hari kian meningkat. Jokowi, orang nomor satu di Indonesia ini di balik kebugarannya ternyata setiap pagi minum jamu temulawak, kunyit, dan jahe.

Jamu mudah ditemukan pada masyarakat Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta. Hal ini dihubungkan dengan kebiasaan minum jamu para kalangan keraton kerajaan Hindu Mataram (732 M).

Dewasa ini jamu terus eksis yang ditandai dengan adanya jamu gendong di pasar tradisional Surakarta dan Yogyakarta. Outlet-outletjamu kemudian menyebar ke daerah perkotaan lain. Jamu atau obat herbal memiliki sejumlah keunggulan, di antaranya bersifat kuratif serta tidak menimbulkan efek samping asalkan diracik sesuai takaran. Walaupun demikian masih ada sebagian kecil warga antipati terhadap jamu tradisional.

Bukan tanpa alasan, jamu masih dipandang alternatif kedua setelah dikembangkan obat modern. Persoalan utama adalah terkait proses saintifikasi jamu di Indonesia yang sepenuhnya belum tuntas.

Contohnya kemunculan tanaman bajakah dari pulau Kalimantan telah menuai pro-kontra. Pasalnya justifikasi terhadap bajakah sebagai obat kanker belum melalui kajian praklinis dan klinis secara invitro dan invivo di laboratorium. Pengalaman empiris atau pengakuan warga tentang bajakah tidak cukup sebagai alat justifikasi sebagai biofarmaka penyakit tertentu.Idealnya pengetahuan etnomedisin harus dipadukan dengan saintifikasi jamu agar didapatkan jamu saintifik atau Obat Herbal Terstandar (OHT).

Jamu di Tanah Air terus mengalami pasang surut. Selalu ada tantangan dan peluang bagi pengusaha jamu untuk dapat bersaing dengan obat modern. Biasanya, zaman dahulu anak-anak di pedesaan diberikan jamu untuk kesehatan. Akan tetapi, saat ini tradisi semacam itu sudah mulai hilang.

Seiring waktu, eksistensi jamu sudah mulai menurun karena tergantikan dengan obat modern. Oleh karena itu, perlu dilakukan saintifikasi jamu dan edukasi kepada Usaha kecil Obat Tanaman (UKOT) dan Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) secara simultan. Pelaku jamu gendong di lapangan acap kali mengabaikan prinsip higienitas. Padahal kualitas jamu dipengaruhi oleh mutu bahan, proses, dan sanitasi jamu.

Alih-alih mendapat khasiat jamu agar tubuh bugar, justru pada tahun 2018 terdapat 11 orang dilarikan ke RSUD Magelang akibat keracunan jamu seusai minum jamu uyub-uyub. Kejadian berulang di Ngawi pada tahun 2019, sebanyak enam petani mengalami keracunan jamu racikan setelah memesan jamu cap tawon pada tahun 2019. Penderita keracunan jamu akan mengalami gejala mual, muntah, diare, dan nyeri perut.

Fakta tersebut mengindikasikan bahwa higienitas serta proses saintifikasi masih menjadi persoalan serius untuk pengembangan jamu untuk bersaing dengan minuman modern. Sholihah (2012), melaporkan dalam penelitiannya bahwa 93,7% jamu kunir asem yang diproduksi di Kecamatan Klaten Selatan tidak memenuhi syarat untuk diminum. Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran penting agar para UKOT dan UMOT agar diberikan pemahaman supaya dapat meracik jamu yang terstandar.

Di sisi lain, jamu sebenarnya memiliki sejumlah potensi untuk dikembangkan sebagai komoditi yang mendatangkan banyak peluang ekonomi. Keunggulan pertama adalah jamu merupakan brand image sebagai warisan budaya leluhur. Bukti jamu sebagai warisan terletak pada relief pohon kalpataru pada Candi Borobudur (825 M). Kebiasaan ini tentu menjadi peluang pasar tersendiri bagi UKOT dan UMOT. Ditambah faktor kesehatan adalah kebutuhan primer yang semua orang membutuhkannya.

Indonesia memiliki bahan baku yang tersedia melimpah ruah. Penelitian yang dikerjakan oleh Kemenkes mengenai Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) pada tahun 2012 memperoleh data 1,889 spesies tumbuhan obat, 15.671 ramuan untuk kesehatan, dan 1.183 penyembuh tradisional dari 20% etnis di Indonesia. Dalam Permentan No 511 tahun 2006 terdapat 66 komoditas tanaman obat. Bahan baku curcumin kita merupakan curcumin tertinggi di dunia setelah Ethiopia dan India.

Pulau Jawa memiliki daerah sentra penghasil tanaman empon-emponan seperti Sukabumi, Cianjur, Banjarnegara, Karanganyar, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek, dan Pacitan. Daerah seperti Pacitan dan Karanganyar merupakan penyuplai bahan baku rimpang seperti jahe, kunyit, kencur, dan temu-temuan di pasar tradisional Surakarta dan Yogyakarta.

Dengan demikian potensi yang besar terhadap jamu ini perlu dijaga agar jamu semakin mendunia. Usahanyatanyamisalnya dengan mengadakan seminar jamu, pameran, dan konservasi tanaman obat. Di samping itu Pemerintah Pusat perlu mendukung dan memfasilitasi balai tanaman obat dan PT agar bersinergi untuk segera merampungkan registri data ramuan jamu berbasis etnis yang belumselesai dalam proses saintifikasi jamu.