Hamsad Rangkuti, pria kelahiran Titi Kuning, Medan Johor, Medan, Medan, Sumatera Utara, 7 Mei 1943 (Meninggal 26 Agustus 2018) adalah seorang sastrawan Indonesia yang menulis cerita pendek terkenal "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu". Nama aslinya adalah Hasyim Rangkuti.

Mengenal Hamsad Rangkuti melalui novel Ketika Lampu Berwarna Merah

Foto: Deskgram

Bersama lima saudaranya, Hamsad melewatkan masa kecilnya di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Hamsad suka menemani bapaknya yang bekerja sebagai penjaga malam merangkap guru mengaji di pasar kota perkebunan itu. Hamsad juga membantu ibunya mencari makan dengan menjadi penjual buah di pasar dan buruh pencari ulat di perkebunan tembakau. Karena tak mampu berlangganan koran dan membeli buku, Hamsad rajin membaca koran tempel di kantor wedana setempat. Dari koran-koran itu ia berkenalan dengan karya-karya para pengarang terkenal, seperti Anton Chekov, Ernest Hemingway, Maxim Gorki, O. Henry, dan Pramoedya Ananta Toer. Dia pun mulai tertarik untuk menulis karya sastra. Cerita pendek pertamanya dia tulis saat masih duduk di bangku SMP di Tanjungbalai, Asahan, pada 1959. Cerpen "Sebuah Nyanyian di Rambung Tua" itu dimuat di sebuah koran di Medan.

Pada 1964 Hamsad Rangkuti masuk rombongan delegasi pengarang Sumatera Utara pada Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta dan sejak itu menetap di Jakarta dan tinggal di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat.

Hamsad termasuk seniman penandatangan Manifes Kebudayaan pada 1964, pernyataan para seniman yang menolak politik sebagai panglima. Presiden Soekarno melarang kelompok itu karena dinilai menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik yang ia tetapkan.

Sejumlah cerita pendek Hamsad telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti "Sampah Bulan Desember" yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dan "Sukri Membawa Pisau Belati" yang diterjemahkan ke bahasa Jerman. "Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo" dan "Senyum Seorang Jenderal pada 17 Agustus" dimuat dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute. Tiga kumpulan cerpennya Lukisan Perkawinan dan Cemara pada tahun 1982 serta Sampah Bulan Desember pada tahun 2000, masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas. Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah diterbitkan oleh Kompas pada 1981. Cerpen-cerpennya juga termuat dalam beberapa antologi cerita pendek mutakhir, termasuk Cerpen-cerpen Indonesia Mutakhir (1991) yang disunting Suratman Markasam.

Mengenal Hamsad Rangkuti melalui novel Ketika Lampu Berwarna Merah

Foto: Goodreads

Salah satu karyanya yang paling menarik dari Hamsad Rangkuti adalah novel Ketika Lampu Berwarna Merah. Novel tersebut mencerminkan paradoks pembangunan yang dilakukan pemerintah.Ketika Lampu Berwarna Merah memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 1980. Karya ini merefleksikan kehidupan para gelandangan dan kaum yang tergusur di Jakarta.

Dalam novel Ketika Lampu Berwarna Merah, Hamsad ingin mengatakan, di satu sisi berdiri bangunan raksasa yang megah dan kokoh dengan para penghuninya yang bergelimang kemewahan, dan di pihak lain, sekelompok besar masyarakat tergusur tak lepas dari penjara kemiskinan. Lewat karyanya itu, Hamsad memotret kehidupan keseharian kaum marjinal. Mereka terkukung kemiskinan dan kelaparan.

Kelompok seperti ini ada dan nyata. Kemiskinan dan kebodohan seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Kemiskinan hari-hari ini menjadi sangat struktural, kultural, dan spiritual menjadi satu kesatuan.Hamsad Rangkuti mencoba mengingatkan pembaca, di sekitar kita, di tengah glamor kehidupan perkotaan, masih terlalu banyak warga bangsa ini yang sehari-harinya hidup hanya berkutat dengan urusan makan.

Hamsad berpendapat, pada dasarnya sastrawan bergerak atas dasar pembelaan terhadap kemanusiaan.Karya Hamsad Rangkuti ibarat potret tentang perubahan sosial yang terjadi pada zamannya. Jakarta misalnya, bagi dia, adalah kota yang penuh paradoks.

Sejumlah penghargaan pernah diraih Hamsad. Selain Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta, ada pula pengakuan dalam bentuk Southeast Asian Writers Award (2008) dan Khatulistiwa Literary Award (2003).