Siapa yang akan menyangka bahwa di zaman yang sudah mengalami banyak perubahan saat ini masih terdapat adanya ketidaksetaraan, diskriminasi, serta isu gender lainnya yang masih terjadi dalam dunia kerja?

Walaupun isu gender ini tidak hanya berada di dunia kerja saja, hal ini merupakan sesuatu yang sangat disayangkan, mengingat bahwa masing-masing gender memiliki kelebihan serta kemampuan yang berbeda dalam mengembangkan suatu pekerjaan. Sehingga dengan demikian, akan cukup menarik untuk mencari tahu, apakah hal seperti ini terjadi di Indonesia dan apakah isu terhadap gender merupakan sesuatu yang umum di kalangan masyarakat?

Berbicara mengenai isu gender, nyatanya di Indonesia sendiri masih terdapat sejumlah masyarakat yang tabu mengenai isu ini. Fenomena ini dibuktikan oleh Dede Wiliam-de Vries (2006) dalam bukunya yang berjudul GENDER BUKAN TABU: Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa pada saat diadakannya diskusi terbuka bertema gender bersama dengan timnya, masyarakat lokal yang saat itu mengetahui bahwa topik pembahasan mengenai gender mereka menunjukkan ekspresi terkejut. Kebanyakan di antara mereka memberikan reaksi tidak nyaman, canggung, dan keberatan dengan tema tersebut. Masyarakat lokal memiliki pandangan yang menyatakan bahwa isu terkait gender merupakan sesuatu yang bertentangan dengan alam dan tidak layak untuk dibicarakan di hadapan publik. Namun beberapa saat ketika diberikannya suatu penjelasan mengenai makna yang sebenarnya secara umum dan sederhana, mereka akhirnya mencoba untuk memahami serta berpikiran positif terkait isu gender ini. Bahkan di antara mereka mengambil peran aktif dalam diskusi yang mengarah pada diskusi terkait ketidaksetaraan gender di lingkungannya. Isu-isu umum terkait gender seperti kekerasan dalam rumah tangga, tradisi dan adat istiadat, serta berbagai isu hubungan masyarakat di tingkat lokal secara spontan diangkat dan menjadi topik hangat dalam diskusi tersebut. Sehingga di penghujung diskusi, topik gender tidak lagi dianggap asing atau dilarang didiskusikan di hadapan publik (D., 2006).

Namun, apakah arti sebenarnya mengenai gender itu sendiri?

The Encyclopedia of Women's Studies menyatakan terkait gender yang merupakan konsep budaya yang berusaha membedakan antara laki-laki serta perempuan dalam hal kedudukan, perilaku, mentalitas, serta sifat emosional yang berkembang dalam masyarakat (Lestari, 2015).Melalui penjelasan yang telah disebutkan, gender merupakan suatu konsep sebagai bentuk pengenalan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara keseluruhan. Dengan kata lain, gender juga merupakan suatu perbedaan yang dibangun oleh masyarakat dengan latar belakang budaya serta sosial yang berbeda, seperti agama, negara, daerah dan lainnya. Sehingga perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bentuk peran, perilaku, serta karakteristik yang berlaku di suatu tempat belum tentu sama pada tempat yang berbeda (Aulya, 2020).

Pemahaman terkait gender ini, nyatanya justru menjadi salah satu penyebab adanya sejumlah isu gender yang terjadi di beberapa kalangan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai makna sebenarnya dari gender itu sendiri yang berarti adanya perbedaan antara pria dan wanita, baik secara karakteristik, peran, serta mentalitas. Sehingga pada pengertian yang sudah jelas adanya perbedaan bagi setiap gender ini, menjadi disalahgunakan pemaknaannya pada situasi tertentu.

Salah satu contoh situasi yang tidak dapat dihindari hingga sampai saat ini adalah dalam industri kerja. Adanya perlakuan yang berbeda pada setiap gender yang terjadi dalam dunia kerja, menjadi salah satu faktor terjadinya ketidakadilan yang didapat dari salah satu gender tertentu. Dalam hal ini para wanita pekerja mengutarakan pengalamannya bahwa terdapat hambatan yang lebih besar yang dialami oleh wanita dibandingkan pekerja pria serta kesulitan yang lebih besar dalam memperoleh tugas pembangunan dan peluang untuk mobilitas geografis. Selain itu, pekerja wanita juga perlu lebih pro-aktif dibandingkan pekerja pria demi dipertimbangkan pada peran tersebut. Oleh karena itu, pentingnya para pengusaha harus fokus untuk menghilangkan suatu hambatan yang dapat menghalangi kemajuan karier bagi pekerja wanita (Dessler, 2013).

Penyebab lainnya yang terjadi dalam dunia kerja adalah adanya budaya patriarki. Menurut penjelasan yang diberikan oleh Sakina dan Siti (2017) (dalam Ahmad, Risdawati, 2019). mengungkapkan bahwa adanya budaya patriarki yaitu digambarkan dengan pria sebagai penguasa utama serta memimpin semua bidang kehidupan dengan meliputi politik, otoritas moral, kontrol properti, dan hak-hak sosial. Adanya keterlibatan para penganut patriarki ini membuat para pekerja wanita merasa direndahkan, serta ketidakadilan ini juga menciptakan kesan bahwa wanita dilahirkan untuk melaksanakan pekerjaan yang terbatas dan bergaji rendah (Ahmad, Risdawati, 2019).

Menanggapi kasus ketidakadilan yang dialami bagi setiap pekerja, dalam hal ini Indonesia sendiri memiliki suatu undang-undang terkait keadilan dalam bekerja dengan pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 dengan menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sehingga dengan demikian, hal ini diharapkan agar para pekerja baik wanita maupun pria mendapatkan perlakuan yang adil dalam bekerja, baik itu mengenai jabatan, upah gaji, serta jenis kerja yang sesuai (Susiana, 2017).

Adanya kebijakan formal pemerintah dan undang-undang dengan menawarkan kesempatan yang sama bagi pria serta wanita untuk ilmu serta pengembangan karier, dalam praktiknya seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa wanita menghadapi hambatan yang jauh lebih besar daripada pria dalam pengembangan karier mereka (Lestari, 2015). Melalui peristiwa ini, nyatanya di Indonesia sendiri masih terdapat terjadinya ketimpangan gender yang mempengaruhi pasar tenaga kerja, yaitu akses pekerja wanita terhadap suatu peluang justru menghasilkan pendapatan yang lebih kecil dibandingkan pekerja pria. Selain itu wanita juga cenderung memiliki harapan yang cukup rendah dalam memperoleh pekerjaan, bahkan sebaliknya wanita cenderung besar kemungkinannya untuk tidak dipekerjakan (Yusrini, 2017).

Bukti lainnya terhadap isu gender yang terjadi di Indonesia adalah dapat dilihat melalui data dari Badan Pusat Statistik (BPS) (2017) yang menyatakan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita dan pria di Indonesia pada tahun 2017 yaitu 50.89 : 82,51. Maka dengan demikian, TPAK pada wanita jauh lebih rendah dari pada TPAK pria. Bahkan Scholastica (2108) menjelaskan bahwa, peristiwa ini berbanding terbalik terhadap jumlah penduduk yang ada di Indonesia dengan proporsi penduduk wanita dan pria yang berusia 15 tahun ke atas, yaitu 96,7 juta: 95,88 juta. Sehingga dengan demikian melalui data tersebut memperlihatkan sekitar 47,24 juta wanita pada usia pekerja, tidak aktif secara ekonomi (Nuraeni & Lilin Suryono, 2021).

Berdasarkan dari sejumlah teori, pengalaman, serta data yang diperoleh mengenai isu gender dalam pengembangan karier di Indonesia, kita menjadi tahu bahwa isu terhadap gender merupakan suatu peristiwa yang cukup serius. Walaupun telah ditetapkan melalui UUD mengenai keadilan dalam bekerja, hal ini tidak membuat situasi tersebut memperoleh hasil yang signifikan. Penting sekali untuk diketahui bahwa adanya pengembangan karier bagi karyawan memiliki dampak yang cukup baik untuk meningkatkan kinerja karyawan, terlebih tanpa adanya perbandingan gender adalah sesuatu yang dibutuhkan. Selain itu, adanya pengembangan karier yang adil, alih-alih untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, hal ini juga dapat mensejahterakan perusahaan agar semakin berkembang dan maju dalam industri kerja yang diharapkan.

Oleh:Ellyana Dwi Farisandy dan Vira Nabila, Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya