Peringatan Hari Anak Nasional tahun ini berbeda dengan perayaan pada tahun tahun sebelumnya. Karena saat ini, dunia termasuk Indonesia sedang menghadapi tantangan pandemi Covid-19 yang berimplikasi pada masyarakat, terutama anak.Beberapa dampak negatif bagi anak antara lain kehilangan pengasuhan, mengalami kekerasan baik verbal maupun non verbal, berkurangnya kesempatan anak untuk bermain, belajar, dan berkreasi akibat diterapkannya kebijakan jaga jarak maupun belajar di rumah.

Untuk itulah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI menetapkan tema HAN 2020 berupa Anak Terlindungi, Indonesia Majudengan tagline#AnakIndonesiaGembiradiRumah. Artinya, para orang tua dan keluarga di Indonesia harus dapat memberikan perlindungan sekaligus menjalankan peran pengasuhan bagi anak disesuaikan dengan perubahan kondisi saat ini. Adanya tuntutan penguatan peran pengasuhan anak berbasis hak anak. Di mana kunci terpentingnya terletak pada hak utama anak yakni aspek kesehatan dan keselamatan bagi mereka.

Maksud dari pengasuhan anak berbasis hak anak yakni pengasuhan yang berbasis perlindungan dengan menerapkan empat prinsip yakni non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hidup, tumbuh, dan berkembang, serta partisipasi. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan keberlanjutan demi kepentingan terbaik bagi anak.

Mengapa pengasuhan anak berbasis hak anak penting dilakukan? Dari data profil Anak Indonesia 2018, setidaknya 95,3% anak diasuh oleh orang tua baik ibu kandung, ayah kandung ataupun keduanya. Sementara sebanyak 4,7% anak lainnya diasuh keluarga lain atau orang tua pengganti. Dan sebanyak 3,73% balita diketahui mendapat pengasuhan yang tidak layak (Susenas MSBP, 2018).

Data Simfoni (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) KemenPPPA menyebutkan pada tahun 2019 terdapat 19.626 kasus kekerasan terhadap anak, sedikit lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yaitu sebanyak 21.374 kasus. Bila dilihat dari jumlah korban kekerasan terhadap anak tahun 2019 jumlah korban sebanyak 11.370 anak menurun dibandingkan tahun 2018 sebesar 12.395. Hal tersebut menjadi salah satu alasan yang mendasari Presiden RI memberikan arahan kepada KemenPPPA untuk meningkatkan pentingnya peran keluarga khususnya ibu dalam pengasuhan anak.

Bagaimana pengasuhan anak berbasis hak anak dilakukan pada era adaptasi Kebiasaan Baru? Menurut Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Seger Handoyo, orang tua sebaiknya lebih berfokus pada membantu penguatan mental psikologis anak agar anak mampu menghadapi masalah dan bangkit ketika terjatuh, termotivasi untuk menggapai cita cita, lebih optimis, santai, dan tidak mudah cemas. Terpenting, memastikan anak-anak tetap dirumah dan bergembira selama masa pandemi Covid-19.

Ada pun sejumlah hal yang dapat orang tua lakukan untuk memperkuat sisi psikologis anak, misalnya dengan mempraktikkan agar anak mencontoh dalam hal mengendalikan diri dan emosi, meningkatkan rasa percaya diri saat berhadapan dengan orang lain, memperkuat komitmen, terus belajar dan mengembangkan kemampuan diri, dan pentingnya memperkuat regulasi diri.

Sementara itu, menurut Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi, menyatakan bahwa pengasuhan anak di era adaptasi Kebiasaan Baru ini menjadi kesempatan bagi orang tua untuk mengenal segala potensi anak. Orang tua juga harus kreatif dalam mengasuh dengan mencarikan permainan menarik bagi anak.

Pada intinya, orang tua harus tetap fokus pada pemenuhan hak anak dan membentuk karakter positif pada anak. Hal tersebut harus diterapkan dengan segala cara dan metode seperti menciptakan pengasuhan dengan penuh cinta melalui senyum, tanpa kekerasan, sehingga anak tumbuh penuh dengan rasa cinta kasih sayang kepada orang di lingkungannya.

Pola pengasuhan anak berbasis hak anak harus mengacu pada semua hak anak yang harus dipenuhi. Ada pun sejumlah anak menurut Konvensi Hak Hak Anak PBB pada tanggal 20 November 1989 meliputi hak untuk bermain, mendapatkan pendidikan, perlindungan, nama (identitas), status kebangsaan, makanan, akses Kesehatan, rekreasi, kesamaan dan berperan dalam pembangunan.

Indonesia sebagai anggota PBB juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 dan optional protocols terkait meningkatkan komitmen pemenuhan dan perlindungan hak anak. Selain itu, Indonesia juga berpartisipasi melaksanakan Deklarasi PBB tentang A World Fit for Children (Dunia Yang Layak Bagi Anak) melalui pengembangan kebijakan Kota Layak Anak (KLA).

Tentunya pemerintah memerlukan dukungan dari berbagai lintas sektor keilmuan, tidak hanya psikologi, pendidik dan tenaga kependidikan, serta tenaga kesehatan, namun semua elemen bangsa mesti bersinergi demi terwujudnya Indonesia Layak Anak (IDOLA) pada 2030 mendatang.