Gaharu merupakan komoditas hasil hutan yang memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Harga Gaharu berkisar antara Rp300 ribu per kilogram hingga yang termahal dengan kualitas terbaik dapat mencapai Rp800 juta per kilogram. Gaharu memiliki wangi yang khas dan sering dijadikan sebagai aromaterapi. Biasanya Gaharu dipakai dalam acara ritual keagamaan, yakni sebagai bahan pembuat dupa/hio serta bahan baku parfum. Selain itu, minyak Gaharu juga bermanfaat untuk industri obat-obatan. Minyak Gaharu dapat dimanfaatkan sebagai obat anti alergi, anti depresi, asma, TBC, liver, hingga kanker.

Gaharu tumbuh di daerah tropis seperti di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Gaharu sendiri hanya dapat dihasilkan apabila pohon penghasil gaharu terkena penyakit. Tidak sembarang jenis pohon dapat menghasilkan Gaharu. Hanya pohon dari beberapa famili saja yang dapat menghasilkan Gaharu, yakni pohon dari famili Thymeleaeceae, Euporbiaceae, dan Leguminoceae. Ketika pohon dari famili tersebut telah terinfeksi jamur (Fusarium sp.) barulah Gaharu dapat dihasilkan. Infeksi dari jamur membuat pohon mengeluarkan senyawa fitoaleksin sebagai sistem pertahanan terhadap jamur. Senyawa fitoaleksin tersebut berwarna cokelat kehitaman dan memiliki aroma harum yang khas. Semakin banyak senyawa fitoaleksin yang dihasilkan maka warna kayu gaharu semakin hitam dan harganya semakin mahal.

Produk Gaharu diminati oleh hampir semua negara seperti negara-negara di timur tengah seperti Arab Saudi dan Qatar. Selain itu, permintaan Gaharu juga banyak datang dari negeri Paman Sam, Cina, Jepang, Korea, dan Singapura. Sayangnya, gaharu kini semakin langka akibat kerusakan dan alih fungsi hutan serta kurangnya pengetahuan petani Gaharu yang sering salah menebang pohon induk yang belum menghasilkan Gaharu. Akibatnya, kuota perdagangan Gaharu kini masih dibatasi oleh LIPI sebagai otoritas ilmiah konvensi internasional perdagangan tumbuhan dan satwa liar (CITES). Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan kelestarian Gaharu agar tidak punah.