Manusia adalah subjek rasa takut. Takut kehilangan orang tercinta, kehilangan harta benda, dan takut kehilangan momen yang orang lain lakukan dalam hidupnya. Ironi dan lucu, bahkan kehidupan orang lain dijadikan patokan untuk melakukan aktivitas masing-masing. Kita iri melihat foto orang lain berlibur di media sosial. Iri melihat pencapaian dan kesuksesan orang lain. Perasaan ini terus berkecamuk dan menjadi kebiasaan baru. Tidak akan ada habisnya karena terus melibatkan rasa iri yang mendalam dan mempengaruhi harga diri kita sebagai manusia.

Contoh spesifik lain adalah ketika kita tidak terlibat dalam suatu aktivitas yang dilakukan teman lain. Rasanya sangat tidak mengenakkan. Di situasi tersebut, biasanya kita cenderung merasa gelisah, dan cemas berlebih. Bagi individu yang merasa "tertinggal", biasa mereka mengecek media sosial secara terus menerus untuk mendapatkan informasi apa pun demi menghindari ketertinggalan informasi lebih jauh lagi. Tapi, sadar tidak bahwa ini bukan lagi sesuatu yang baik dan sehat. Kondisi ini bisa dijelaskan lewat istilah 'FOMO".

FOMO atau Fear of Missing Out adalah istilah yang dikemukakan pertama kali oleh Dr. Andrew K. Przybylski pada tahun 2013. Definisi FOMO menurut psychology todayadalah kekhawatiran yang dimiliki bahwa orang lain mungkin memiliki pengalaman berharga, dan dirinya tidak hadir pada situasi tersebut. Dampak lain dari FOMO mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, memiliki kehidupan lebih baik dibandingkan hidup kita.

Di kalangan masyarakat yang serba teknologi, penggunaan media sosial adalah sarana utama timbulnya perasaan FOMO. Media sosial menunjukan segala aktivitas seseorang, yang mana kebanyakan menyenangkan. Berdasarkan studi jurnal Psychiatry Research, pengaruh media sosial dan penggunaan yang tidak bijak menghasilkan rasa takut ketertinggalan yang besar. Menurut jurnal Human Behavior and Emerging Technology tahun 2019, jumlah waktu yang dihabiskan di media sosial berimplikasi pada perasaan FOMO. Menghasilkan depresi, stres, dan kecemasan berlebih. FOMO bisa memicu perasaan kesepian, terisolasi, dan berdampak negatif pada suasana hati, dan tingkat kepuasan hidup.

Perasaan FOMO muncul karena adanya kekeliruan mengenai sudut pandang dan persepsi manusia. Adanya kesadaran akan perasaan FOMO dalam hidup seseorang, menghasilkan refleksi dan intropeksi untuk melepaskan dirinya dari jeratan psikologis tersebut. Karena itu munculah JOMO. JOMO atauJoy of Missing Out adalah kebalikan dari kondisi FOMO. JOMO adalah perasaan tidak merasa terganggu akan aktivitas yang dilakukan orang lain. Fenomena psikologis ini menjadikan individu memiliki kondisi mental dan pola pikir puas akan diri sendiri, di mana pun dan kapan pun.

Dampak positifnya, kita tidak lagi merasa membutuhkan orang lain atas kebahagiaan diri sendiri. Tanpa bermaksud untuk bersikap apatis dan egois, JOMO mengajarkan kita untuk mindfulness. Yaitu puas dan menghargai hidup di masa saat ini. Tidak ada lagi perasaan iri, dan keinginan untuk memenuhi standar sosial tertentu.

JOMO hadir karena individu mampu membenahi diri dengan bersyukur. Perlu digarisbawahi, FOMO mampu mengganggu kesehatan mental karena kita tidak menghargai apa yang di depan mata, dan berfokus pada hal menyenangkan yang kita lihat di media sosial. Kita lupa bahwa kita memiliki kehidupan yang patut disyukuri, karena orientasi sudut pandangnya hanya pada aktivitas orang lain. Ini menghadirkan pemikiran bahwa orang lain memiliki hidup lebih menyenangkan. Mulai bersyukur atas hal kecil dan hal baik yang ada dalam hidup kita. Ini bisa mengubah fokus kita agar tidak berpacu pada hal yang tidak ada dalam hidup, dan menikmati pada apa yang tersedia.

Rasa syukur yang dibangun akan menghadirkan self-compassion dari dalam diri. Self-compassion adalah langkah sederhana menyayangi diri. Dari sini, akan muncul perasaan bangga dan perasaan bahwa dirimu sangat berharga. Aplikasi self-compassion meningkatkan hubungan lebih baik untuk mengenal dan menerima diri sendiri. Kamu tidak selalu membutuhkan orang lain untuk membuat dirimu sendiri bahagia. Ini berdampak positif bagi kesehatan mental karena tidak ada lagi komparasi keunikan, kehidupan bahkan aktivitas orang lain atas diri sendiri. Lewat self-compassion, seseorang akan lebih fokus pada pengembangan diri dan berhasil melawan perbandingan sosial yang akan terus meningkat.

Joy of Missing Out akan menghasilkan kesehatan mental yang lebih positif karena terbebas dari kecemasan dan perasaan kompetitif. Dengan JOMO, hidup terasa jauh lebih sederhana dan bermakna untuk dijalani. Terlepas dari keinginan duniawi yang sering kali membuat hidup lebih kompleks dan menyesakkan. JOMO meningkatkan kualitas hidup bahkan dari kegiatan terkecil. Hidup terlalu singkat untuk sekadar berbicara mengenai siapa yang lebih sukses, aktivitas siapa yang paling menyenangkan atau hal remeh lainnya. Untuk itu, berikan makna kepada setiap value kehidupan, dengan cara kita masing-masing, tanpa perlu adanya ketakutan "ketertinggalan" dari orang lain. Kita bisa memiliki waktu terbaik untuk mencapai kebahagiaan dengan apa dan siapa yang ada di sekitar kita, tanpa berpacu pada apa dan siapa yang ada pada kehidupan orang lain.