Dalam lingkungan pekerjaan, diskriminasi gender adalah hal yang masih sangat lumrah terjadi, terutama terhadap perempuan. Diskriminasi gender berasal dari kata diskriminasi yanng memiliki arti pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara, serta gender yang memiliki definisi pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini telah lama menjadi isu yang mengakar di Indonesia, terutama dikarenakan adanya budaya patriarki yang memosisikan perempuan sebagai "warga kelas dua" yang sepatutnya berada di bawah laki-laki dan tidak berhak mendapatkan ruang lebih untuk bergerak, terutama dalam lingkungan kerja.

Sering kali, perempuan dipandang sebelah mata karena adanya anggapan bahwa kapabilitas yang dimiliki tidak akan sebaik kapabilitas yang dimiliki laki-laki. Dalam sebuah siaran pers yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Rafail Walangitan selaku Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan menegaskan bahwa diskriminasi yang dialami oleh perempuan di lingkungan kerja terdiri dari berbagai bentuk yang sangat bervariasi, mulai dari fase penerimaan pekerjaan, kesempatan berpartisipasi dalam pelatihan, kesempatan untuk mendapatkan promosi (kenaikan jabatan), ruang partisipasi bagi perempuan dalam pengambilan keputusan, hingga terdapatnya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) bagi perempuan yang memutuskan untuk menikah karena dianggap tidak akan bisa membagi waktu untuk bekerja pada perusahaan.

Faktor penyebab langgengnya budaya diskriminasi gender.

Langgengnya budaya diskriminasi gender terhadap perempuan dipengaruhi oleh banyak aspek, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Patriarki.

Patriarki dapat didefinisikan sebagai manifestasi dan institusionalisasi dominasi laki-laki atas perempuan di dalam masyarakat yang memungkinkan laki-laki untuk memiliki kontrol penuh atas perempuan. Secara singkat, patriarki berfokus pada superioritas laki-laki atas perempuan dan juga dominasi yang tidak hanya terbatas pada ekonomi, tetapi juga ideologi, politik hingga kebutuhan seorang perempuan.

Dalam hal ini, budaya patriarki berperan penting dalam langgengnya diskriminasi gender karena ia sangat sarat dengan stereotip dan juga stigmatisasi pada perempuan. Budaya patriarki selalu memandang perempuan sebagai objek ataupun "budak" yang tidak seharusnya mendapatkan ruang lebih, terutama dalam lingkungan kerja. Hal ini kemudian sangat rentan menimbulkan diskriminasi di saat perempuan memutuskan untuk berkarier dan berdiri di atas kaki sendiri, karena jika lingkungan pekerjaan tersebut itu diisi oleh laki-laki patriarki, ia akan memandang hal itu sebagai "ancaman" maupun hal yang tidak lumrah.

2. Stereotip.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, stereotip adalah salah satu hal yang berhubungan erat dengan buaya patriarki. Kamus Merriam Webster menjelaskan stereotip sebagai "something conforming to a fixed or general pattern"atau "sesuatu yang sesuai dengan pola tetap atau umum". Stereotip dapat didefinisikan sebagai pemberian label/cap kepada seseorang/kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah untuk memalidasi tindakan pelaku terhadap target/korban tersebut.

Di Indonesia, masih terdapat banyak sekali stereotip yang sering kali muncul, terutama terhadap perempuan, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

- Perempuan tidak mampu memegang tanggung jawab akan peran penting.

- Perempuan sepatutnya hanya menjadi ibu rumah tangga.

- Mendidik anak merupakan tanggung jawab ibu.

Dalam lingkungan kerja, stereotip tentunya berperan besar dalam munculnya diskriminasi gender, karena label-label negatif yang disematkan kepada perempuan akan semakin mempersempit geraknya dan menaruhnya pada posisi yang tidak nyaman.

Contoh: Saat seorang perempuan ingin ikut serta dalam pengambilan keputusan rapat kantor, muncul kata-kata dari rekan laki-laki yang berbunyi "Memangnya kamu ngerti apa? Kamu kan perempuan, ini urusan laki-laki, nggak perlu intervensi". Meskipun terdengar sederhana, kalimat semacam ini berkontribusi dalam langgengnya budaya diskriminasi gender dan juga pembatasan ruang gerak perempuan dalam lingkungan kerja.

3. Konstruksi gender.

Secara sederhana, konstruksi gender dapat didefinisikan sebagai perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan oleh gender. Hal ini berkaitan erat dengan subordinasi. Subordinasi memiliki arti sebagai suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.

Contohnya adalah anggapan bahwa perempuan hanya pantas berada di ruang domestik sebagai ibu rumah tangga, sedangkan laki-laki berperan sebagai pencari nafkah. Selain itu, konstruksi gender dan juga subordinasi sering kali mengesampingkan peran perempuan dalam ranah domestik. Sering kali ibu rumah tangga dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai sesuatu pekerjaan yang mudah. Di sisi lain, jika perempuan memilih untuk berkarier, ia akan diangggap melawan kodrat dan juga tidak "menuruti" konstruksi gender yang ada dalam masyarakat. Hal ini sangat rentan menimbulkan diskriminasi karena pada akhirnya, perempuan selalu berada dalam posisi yang salah dan penuh dilema. Sering kali, perempuan tidak diberikan pilihan hidup dan diminta untuk pasrah dalam menghadapi realita apa pun yang ada.

Langkah yang perlu dilakukan untuk menghilangkan diskriminasi gender dalam dunia pekerjaan.

Sebagai salah satu budaya negatif yang telah mengakar di masyarakat, tentunya menghilangkan diskriminasi gender bukanlah hal yang mudah, terutama dalam lingkungan pekerjaan di mana pasti terdapat individu patriarki. Namun, ini juga bukanlah hal yang mustahil, ia dapat diwujudkan dengan melakukan beberapa hal berikut ini.

- Mengadakan sesi edukasi kepada seluruh pekerja mengenai gender bias dan juga gender equality.

- Mengevaluasi proses perekrutan dan memastikan bahwa setiap pelamar yang dipilih adalah individu ramah gender.

- Membuat prosedur dan standar yang adil dan ramah gender, terutama mengenai gaji dan juga hak pegawai.

- Membuat prosedur yang ketat mengenai diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.

Dengan mengaplikasi beberapa langkah di atas, penekanan angka diskriminasi gender mungkin tidak akan berkurang drastis dalam waktu cepat, tetapi setidaknya itu dapat menjadi bukti nyata dan komitmen perusahaan untuk menyediakan ruang dan wadah aman yang ramah gender dan juga memberikan kesempatan yang setara bagi semua orang tanpa memandang latar belakang apa pun, karena sesungguhnya semua manusia memiliki hak yang sama untuk memperjuangkan cita-cita dan keinginannya, tanpa perlu terhimpit oleh batasan apa pun.