Tahun 2019 bisa dikatakan sebagai tahun kelam buat Garuda Indonesia (GA). Reputasi perusahaan penerbangan flagship Indonesia ini sangat buruk pasca skandal penyelundupan Harley-Davidson dan sepeda Brompton yang berakibat pada pemecatan jajaran direksi, termasuk direktur utamanya. Bisakah reputasi GA kembali pulih?

Potensi kerugian.

Upaya memulihkan reputasi Garuda Indonesia adalah tugas panjang internal GA di bawah kepemimpinan dewan direksi baru. Tahun 2020 mestinya menjadi momentum untuk memulainya.

Reputasi adalah hasil dari sebuah proses kerja berkesinambungan, sebuah aset strategis yang harus dipikirkan secara proaktif dan menyeluruh oleh perusahaan itu sendiri.

Mengutip definisi The Penguin English Dictionary, reputasi adalah overall quality or character as seen or judge by others dan recognition by other people. Dengan kata lain, reputasi bukan sesuatu yang dimiliki perusahaan, tapi diperoleh dari pihak lain yang berhubungan dengannya.

Andrew Griffin dalam Crisis, Issues and Reputation Managementmenjelaskan, reputasi berbeda dengan brand, di mana perusahaan aktif melakukan promosi, menjual janji-janjinya kepada pasar dengan harapan calon konsumen akan membelinya.

Reputasi adalah tentang bagaimana perusahaan dipersepsikan pihak lain, salah satunya hasil pengalaman berinteraksi dengan perusahaan tersebut. Artinya, perusahaan tidak bisa mengontrol pandangan pihak lain (dalam hal ini stakeholder), ia hanya bisa mengupayakan tindakan-tindakan nyata dan konsisten yang mencerminkan kualitas yang dijanjikan.

Sehingga, brand bisa kuat, tapi reputasinya lemah. Demikian pula sebaliknya. Reputasi bukan kondisi statis, ia selalu berubah-ubah. Di era digital yang sangat transparan ini, reputasi baik yang dibangun puluhan hingga ratusan tahun, bisa rontok dalam hitungan detik. Pemberitaan negatif dari isu yang dianggap sepele sekalipun bisa menjelma menjadi krisis yang mengancam.

Setidaknya ada lima potensi kerugian akibat terganggunya reputasi. Pertama, kegiatan operasional perusahaan pasti terhambat. Kedua stakeholder bingung, panik, marah atau bereaksi negatif. Ketiga, perusahaan akan dipandang tidak kompeten (minimal) atau bahkan kriminal (terburuk). Keempat, semakin lambat penanganan krisis makin lama waktu untuk memulihkan reputasi. Dan kelima, dampak finansial pada perusahaan.

Beberapa kerugian itu akan atau bahkan sudah dialami GA menyusul kasus penyelundupan yang memenuhi headline media. Serangan bertubi-tubi datang dari segala penjuru melalui pemberitaan negatif, ditambah ketidaksiapan mengelola krisis, membuat reputasi GA terpuruk.

Good corporate citizenship.

Sejumlah pihak berkomentar, kasus penyelundupan Brompton dan Harley-Davidson adalah perkara kecil yang dibesar-besarkan. Meski tak sedikit pula yang berpandangan sebaliknya. Kejadian ini hanyalah pemicu yang membuka mata banyak pihak bahwa ada persoalan yang lebih substansial di dalam tubuh GA. Ada praktik-praktik tidak etis yang telah berlangsung begitu lama.

Kita bisa mengaitkannya dengan praktik good corporate citizenship, salah satu pilar penting dalam pembentukan reputasi. Perusahaan, seperti halnya setiap warga negara, memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab. Antara lain kepatuhan terhadap hukum di mana ia berada.

Sebagai perusahaan negara kelas dunia, GA mestinya jadi contoh bagaimana sebuah perusahaan seharusnya dijalankan secara profesional sehingga tidak hanya menguntungkan perusahaan, juga membantu negara memberikan manfaat seluas-luasnya kepada warga negara.

Perusahaan dengan praktik good corporate citizenship punya peluang untuk punya reputasi baik ketimbang perusahaan yang punya cap buruk. Ini bisa menjadi dasar berpijak GA untuk berbenah diri. Di balik krisis selalu ada peluang, momen ini harus bisa dimanfaatkan oleh GA untuk memulihkan reputasinya.

Jangan lupa, krisis ini berawal dari isu internal terkait integritas karyawan, terlebih melibatkan langsung pucuk pimpinan, representasi utama perusahaan. Tindakan Erick Thohir menghentikan jajaran direksi dan menggantinya dengan figur-figur baru sudah tepat. Tapi figur baru itu harus punya integritas dan bisa menciptakan trust di kalangan stakeholder internal maupun eksternal.

Untuk menunjukkan citra sebagai BUMN yang yang bersih harus dimulai dari memperbaiki kinerja dan meningkatkan integritas. Salah satu aspek yang menjadi sorotan publik terhadap Garuda adalah soal kondisi keuangan yang buruk.

Sedikit menoleh ke belakang, di masa-masa awal Garuda beroperasi, era 1968-1984, di bawah kepemimpinan direktur utama Wiweko Soepono. Konon Wiweko sering dihujat karena dianggap otoriter dan banyak melahirkan kebijakan tidak populer dan bikin banyak pihak gerah dalam upayanya menyehatkan perusahaan.

Salah satu warisan penting Wiweko adalah memulai tradisi transparansi tata kelola keuangan dengan menginisiasi tradisi pembuatan laporan tahunan berisi posisi keuangan Garuda dan rencana strategis pengembangan perusahaan. Hal ini memperkuat kredibilitas Garuda dan menjadi bekal untuk menembus persaingan kelas dunia. Hasilnya, selain sisi finansial sehat membuat kredibilitas menguat dan menempatkan Garuda dalam jajaran maskapai penerbangan kelas dunia. Ini adalah sebuah sumbangan besar bagi pembentukan reputasi baik Garuda.

Sayangnya tradisi ini tidak berlanjut bahkan Garuda sempat nyaris terancam bangkrut saat krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1998 karena beban utang menumpuk. Terungkapnya laporan keuangan palsu di era Ari Ashkara menambah catatan kelam GA dalam soal pengelolaan finansial yang kemudian dipersepsi khalayak sebagai salah satu sebab Garuda terus menerus merugi. Persoalan ini mendesak untuk segera diselesaikan.

Aspek lain yang juga menjadi catatan publik terkait layanan yang diberikan GA. Pada tahun 2013 website Garuda pernah mengalami serangan peretas yang membuat layanan melalui jalur internet mobile dan layanan online dengan agen perjalanan terganggu. Karena tidak berdampak pada kerugian finansial, Garuda seolah menyikapinya secara sambil lalu.

Pihak manajemen ketika itu hanya berjanji untuk meningkatkan keamanan dan menjamin data pelanggan tanpa mengomunikasikan secara transparan bagaimana langkah-langkah strategis untuk mengatasi hal tersebut. Padahal cyberattack sudah lama diposisikan sebagai isu global serius dengan tingkat ancaman dan potensi risiko krisis tinggi yang bisa mengancam kelangsungan hidup individu maupun organisasi.

Barack Obama pada masa pemerintahannya pernah mendeklarasikan bahwa kemakmuran ekonomi Amerika di abad ke 21 sangat bergantung pada keamanan siber (cyber security). Cyber attack adalah isu yang tidak bisa diabaikan karena terkait isu keamanan yang merupakan aspek vital dalam industri penerbangan. Isu eksternal ini bisa dijadikan peluang GA untuk meningkatkan reputasi perusahaan, bila dikelola dan dikomunikasikan kepada khalayak secara tepat.

Selama ini, GA sepertinya lebih tertarik untuk melakukan komunikasi yang sifatnya branding, ketimbang membangun reputasi. Seperti mempromosikan jalur penerbangan baru dan mendongkrak popularitas di mata internasional melalui kerja sama dengan brand-brand populer seperti menjadi sponsor resmi klub Premier Leage, Liverpool.

Tidak dipungkiri, upaya branding juga memberikan sumbangan terhadap pembentukan reputasi. Tapi hal ini harus menjadi bagian dari rencana strategis Garuda untuk terus meningkatkan performanya, salah satunya melalui peningkatan pelayanan kepada konsumen yang akan berdampak pada loyalitas konsumen.

Pemulihan reputasi bisa butuh waktu lama dan perlu didukung komunikasi strategis dan menyentuh hal substansial. Bukan sekadar basa-basi PR atau berlindung di bawah gimmick CSR.