Kasus akun palsu yang mengatasnamakan pejabat atau pesohor makin sering kita jumpai. Tak jarang, akun yang disalahgunakan tersebut dibuat untuk mencemarkan nama baik pemilik akun, seperti yang pernah menimpa mantan pejabat tinggi Bali beberapa waktu lalu yang hingga kini belum ditemukan siapa pembuat akun palsu tersebut.

Selain digunakan untuk tujuan politis, yang paling sering dijumpai akun palsu berkaitan erat dengan penipuan; pelaku menghubungi orang-orang dekat atau keluarga dan dimintai tolong untuk mengisikan pulsa dengan alasan sedang dalam kondisi mendesak, misalkan sedang berada di luar kota atau alasan lain yang tentu dibuat-buat.

Bagaimana pandangan Ilmu Psikiatri mencermati media sosial dan penggunaan akun palsu?

Penulis mencari pandangan ahli jiwa mengenai fenomena ini dan menemui dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ, psikiater yang sehari-hari bertugas di RSUD Wangaya, Denpasar. Menurutnya, pengguna akun palsu di media sosial, baik itu Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya memiliki hambatan komunikasi di kehidupan nyata dan mendapat saluran di media sosial sehingga merasa bebas menulis apa saja tanpa larangan.

Orang-orang seperti itu terjebak dengan realitas diri di kehidupan nyata yang penuh aturan. Di media sosial mereka bebas menjadi apa dan siapa saja. Bisa jadi mereka antisosial, namun belum tentu memiliki gangguan jiwa, jelas alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini.

Lebih lanjut dikatakan, penggunaan akun palsu di media sosial memiliki tujuan beragam, mulai dari bisnis, asmara, tindak kriminal sampai pembunuhan karakter yang biasanya menimpa artis dan pejabat. Untuk itu ia berharap masyarakat harus jeli dan cerdas menggunakan media sosial.

Jangan mudah percaya terutama terhadap akun yang belum jelas asal-usulnya, apalagi yang menggunakan nama dan foto palsu. Cek waktu pembuatan akun dan apa saja yang dikirim dan selektif menerima permintaan pertemanan, ujar pembina Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali ini.

Dalam kasus akun palsu mantan pejabat tinggi Bali beberapa waktu lalu, Dokter Rai-begitu ia akrab disapa, mengatakan bahwa kasus tersebut bisa dikategorikan sebagai character assassination atau pembunuhan karakter karena bertujuan menjatuhkan seseorang.

Kasus akun palsu ini bisa dijadikan pengingat bagi kita semua bahwa ada motif-motif tertentu dalam pembuatan akun dan penggunaan media sosial. Ini juga warning bagi para pejabat untuk lebih berhati-hati dan upaya menempuh jalur hukum adalah hal yang tepat, pungkasnya.