Pada 21 September 2020, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2020. Permenkes yang mengatur tentang pelayanan radiologi klinik ini kemudian menimbulkan berbagai tanggapan baik positif maupun negatif di kalangan kolegium kedokteran, khususnya dokter spesialis hingga masyarakat umum. Permenkes yang baru diterbitkan ini sangat berdampak bagi pasien serta pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat, terlebih yang memerlukan pemeriksaan radiologi dalam praktiknya.

Dalam sebuah konferensi pers virtualyang diadakan secara daring pada Rabu, 7 Oktober 2020, Pudjo Hartono selaku Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran (MPPK) mengajukan pencabutan Permenkes Nomor 24 Tahun 2020 terlebih dahulu karena menurutnya, dalam pembuatannya tidak ada keselarasan. Pada forum yang sama, David S. Perdanakusuma selaku Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) juga menyatakan kurangnya pembahasan secara detail serta sosialisasi mengenai keberlakuan dari Permenkes Nomor 24 Tahun 2020 ini. David bahkan mengajukan agar Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dapat mempertimbangkan untuk segera mencabut Permenkes tersebut agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan seperti adanya gangguan pelayanan kesehatan di masyarakat dan diharapkan untuk segera fokus kembali dalam menangani pandemi Covid-19, mengingat angka penyebaran virus di Indonesia yang masih sangat tinggi.

Sebelumnya, pada Senin, 5 Oktober 2020, 50 kolegium dan perhimpunan dokter spesialis dari 15 bidang medis di Indonesia sudah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Permenkes Nomor 24 Tahun 2020 dengan mengirimkan surat penolakan kepada Kementrian Kesehatan Indonesia. Setelahnya, disusul surat penolakan yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) pada Jumat 9 Oktober 2020.Menurut Daeng Faqihselaku Ketua Umum PD IDI, Permenkes Nomor 24 Tahun 2020 ini dinilai meresahkan bagi kalangan sejawat kedokteran hingga menimbulkan berbagai penolakan oleh kolegium kedokteran khususnya di bidang pelayanan kesehatan.

Karena hal tersebut, dikhawatirkan akan timbul potensi hubungan yang tidak harmonis antar sejawat dokter dan di kalangan pekerja yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan. Tentu, apabila sampai terjadi ketidakharmonisan ini dampaknya bukan hanya kepada sejawat dokter yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan, namun juga pada pelayanan kepada pasien itu sendiri. Apalagi dengan status Menteri Kesehatan yang saat ini sebagai dokter spesialis radiologi, Permenkes Nomor 24 Tahun 2020 ini sarat dengan isuabuse of powerkarena dianggap lebih mengutamakan sejawat dokter spesialis radiologi yang menggunakan peralatan dengan modalitas radiasi baik pengion maupun non pengion di fasilitas pelayanan kesehatan, dibandingkan dengan sejawat dokter di bidang lainnya.

Lantas, pasal berapa dalam Permenkes ini yang mengundang perhatian dan kontroversi?

Dapat dilihat pada Pasal 5 PMK Nomor 24 Tahun 2020 yang dinilai lebih menguntungkan spesialis radiologi, yang berisi:

(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Radiologi Klinik harus memiliki peralatan dan sumber daya manusia.

(2) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas peralatan Radiasi pengion dan non pengion.

(3) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas dokter spesialis radiologi, tenaga kesehatan lain, dan tenaga nonkesehatan.

(4) Dokter spesialis radiologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertanggung jawab dan memastikan peralatan dengan modalitas Radiasi pengion dan non pengion di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam kondisi andal.

Sebenarnya, apakah alasan di balik timbulnya beragam komentar dari berbagai pihak mengenai Permenkes ini? Dinyatakan secara jelas dalam pasal ini bahwa dalam suatu fasilitas pelayanan kesehatan yang melayani atau menyediakan pelayanan radiologi klinik diharuskan memiliki peralatan radiasi pengion dan non pengion yang dioperasikan hanya oleh tenaga kesehatan selain dokter spesialis radiologi beserta tenaga non kesehatan yang didampingi dokter spesialis radiologi yang bertanggung jawab langsung terhadap alat radiasi pengion dan non pengion ini.

Permenkes Nomor 24 Tahun 2020 ini juga dianggap hanya mengutamakan dokter spesialis radiologi karena dokter atau dokter spesialis hanya dapat melakukan pelayanan radiologi kepada pasien apabila berada di bawah supervisi dan memiliki sertifikat pelatihan dari kolegium radiologi. Regulasi ini juga berlaku terhadapobsgyn danechocardiographyyang diharuskan berada di bawah kewenangan atau supervisi dari dokter radiologi dalam melayani pasien. Padahal faktanya, jumlah dokter radiologi di Indonesia saat ini hanyalah sekitar 1.578 dokter, yang rasanya mustahil bila harus mengisi peran layanan kesehatan pada 16 bidang medis termasuk dokter umum di masyarakat.

Karena terbatasnya jumlah radiolog di Indonesia yang berbanding terbalik dengan jumlah rumah sakit, balai, ataupun klinik yang ada, maka dikhawatirkan akan terjadinyaoverloadpasien sehingga menyebabkan kurang maksimalnya pelayanan kesehatan pada masyarakat, bahkan tidak menutup kemungkinan tidak terhandlenyapasien. Misalnya, pelayanan dengan alat radiologi yang seharusnya dapat dilakukan secara independen oleh Sp.OG dan Sp.JP saja, dengan adanya Permenkes ini harus dibawahi langsung oleh Sp.Rad. Padahal, dalam pelaksanaan pelayananan kepada pasien, Sp.OG dan Sp.JP bukan hanya mendiagnosa saja. Pelayanan yang dilakukan juga sudah mencakup terapi pada pasien. Isi dari Permenkes yang menyebutkan bahwa pelayanan radiologi dapat dilakukan dengan syarat mendapat sertifikasi dari kolegium radiologi tertuang dalam Pasal 11, yang berisi:

(1) Sumber daya manusia pada Pelayanan Radiologi Klinik pratama paling sedikit terdiri atas:

a. dokter spesialis radiologi;

b. radiografer;

c. petugas proteksi radiasi; dan

d. tenaga administrasi.

(2) Dalam hal Fasilitas Pelayanan Kesehatan belum memiliki dokter spesialis radiologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dokter atau dokter spesialis lain dengan kewenangan tambahan dapat memberikan Pelayanan Radiologi Klinik pratama.

(3) Kewenangan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada dokter atau dokter spesialis lain melalui pelatihan untuk mendapatkan kompetensi terbatas sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, dan dibuktikan dengan sertifikat dari kolegium radiologi yang bertanggung jawab terhadap pelayanan radiologi yang bertanggung jawab terhadap Pelayanan Radiologi Klinik untuk diagnostik dan Pelauanan Radiologi Klinik untuk terapi.

(4) Dokter atau dokter spesialis lain dengan kompetensi tambahan terbatas yang memberikan Pelayanan Radiologi Klinik pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan supervisi oleh dokter radiologi.

(5) Supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam rangka keamanan dan keselamatan terhadap radiasi yang berasal dari alat, penerbitan expertise.

(6) Radiografer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat merangkap sebagai petugas proteksi radiasi setelah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Pasal yang telah dicantumkan di atas dapat diketahui bahwa pelayanan radiologi klinik pratama hanya diperbolehkan untuk melakukan pelayanan x-ray mobile, dental x-ray, dan USG(non Doppler)apabila terdapat minimal satu dokter spesialis radiologi. Meskipun dokter spesialis radiologi ini boleh digantikan dengan dokter atau dokter spesialis lain dengan kewenangan tambahan, namun tetap saja harus memiliki kewenangan atau sertifikasi terlebih dahulu. Hal ini dianggap menyulitkan pasien karena dinilai kurang efektif, khususnya pasien ibu hamil yang membutuhkan pelayanan dengan USG ataupun pasien jantung yang membutuhkan pelayananCT-Scan.Karena sebelumnya tidak ada peraturan yang mengharuskan adanya kewenangan atau persetujuan khusus dari dokter spesialis radiologi dalam melakukan pelayanan ini, berakibat diharuskannya untuk melakukan rujukan terlebih dahulu ke dokter spesialis radiologi atau dokter spesialis lain dengan kewenangan tambahan.

Selain kurang efektif, sebelumnya sudah disebutkan mengenai jumlah dokter radiologi saat ini di Indonesia yang jumlahnya masih sedikit, namun pada Permenkes ini ditetapkan harusnya supervisi dan wewenang dari dokter spesialis radiologi dalam setiap rumah sakit. Kemungkinan yang akan terjadi yaitu kurangnya sumber daya manusia di rumah sakit atau klinik yang berada di luar Pulau Jawa maupun daerah-daerah lainnya yang masih sulit dijangkau mengingat ketidakrataan SDM khususnya pada profesi dokter.

Dampak dari adanya Permenkes ini juga secara tidak langsung berpengaruh pada pendidikan kedokteran baik spesialis maupun umum karena dipastikan akan terjadinya perubahan standar pendidikan radiologi yang berlaku pada saat ini terkait dengan pelayanan klinik meliputi diagnosa maupun terapi.

Bukan hanya Ketua MKKI dan MPPK saja yang tidak setuju dengan adanya PMK Nomor 20 Tahun 2020 ini, Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Kedokteran Gigi Indonesia (PB PDGI) Dr. drg, Hananto Seno juga menyatakan ikatan dokter gigi dan dokter gigi spesialis meminta agar PMK Nomor 24 Tahun 2020 yang dinilai meresahkan khususnya di kalangan dokter gigi dan dokter gigi spesialis radiologi diubah atau dicabut.Menurutnya, dokter gigi dan dokter gigi spesialis radiologi pada saat mendiagnosa ataupun pada saat menggunakan alat radiologi untuk pelayanan terhadap pasien, harus dilakukan langsung di tempat dokter gigi tersebut, bukan hanya dalam bentuk rujukan.

Pasal selanjutnya yang dipertanyakan alasannya adalah Pasal 21 ayat (1), yang berisi:

(1) Setiap fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Radiologi Klinik harus memiliki organisasi Pelayanan Radiologi Klinik yang efektif, efisien, dan akuntabel.

Ketua MKKI menyayangkan keputusan Menteri Kesehatan yang terkesan memberi perhatian dan sorotan berlebih pada dokter spesialis radiologi dibandingkan dengan kolegium dokter bidang lainnya. Menurutnya, kolegium dokter pada bidang lain memiliki kompetensi dan kualifikasi tersendiri yang tidak bisa disamaratakan.

Karena pembuatannya yang terkesan terburu-buru dan kurangnya pembahasan serta sosialisasi hingga pada dikeluarkannya PMK Nomor 24 Tahun 2020 tentang pelayanan radiologi klinik, serta pasal-pasalnya yang mengundang kontroversi, PMK ini menjadi penyebab timbulkan kegaduhan baik di masyarakat maupun di lingkungan kolegium dokter. Menteri Kesehatan juga kabarnya akandisomasioleh sekitar 20 organisasi dan kolegium dokter. Somasi ini akan diajukan dalam waktu dekat dan jika tidak digubris maka akan diajukan uji materil ke Mahkamah Agung (MA) agar dinyatakan tidak berlaku lagi secara umum atau dicabut.

Dalam membuat suatu peraturan, memang sebaiknya dipertimbangkan secara matang disertai dengan segala konsiderasi bagi segala pihak yang bersangkutan. Bukan hanya dokter spesialis radiologi saja, dokter spesialis lainnya hingga masyarakat umum harus diperhatikan dampaknya dengan secara adil. Karena PMK Nomor 24 Tahun 2020 ini yang tiba-tiba dikeluarkan sedangkan sosialisasi yang minim dalam pembuatannya maka para kolegium dokter, MKKI, MPPK, PB PDGI, dan kolegium dokter bidang lainnya mengajukan keberatan. Terlebih pada penerbitannya yang cenderung tergesa-gesa dan mendadak, mengingat kondisi negara yang masih dalam status darurat akibat penyebaran virus Covid-19 yang sangat tinggi.