Dalam kompetisi Asian Para Games, terlihat bagaimana para atlet difabel dari Indonesia sangat kompetitif dan mengumpulkan banyak medali. Klasemen terakhir menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-5 dengan total medali sebanyak 95 medali, 24 di antaranya adalah medali emas. Hal ini adalah bukti nyata besarnya semangat para atlet difabel Indonesia untuk bersaing dan berkompetisi di ajang tersebut.

Semangat juang tinggi untuk mengharumkan bangsa dan negara yang dipertontonkan para atlet difabel Indonesia ini, sebenarnya ironis sekali, jika kita bandingkan dengan realitas yang harus dialami oleh kaum difabel di Indonesia.

Minimnya akses bagi kaum difabel.

Minimnya akses, seperti mimimnya trotoar yang ramah difabel di berbagai tempat di Indonesia, adalah salah satu problem yang belum juga tuntas di Indonesia. Secara hukum, memang sudah ada undang-undang yang mengatur terkait perlunya ketersediaan akses untuk kaum difabel tersebut, atau Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Akan tetapi, implementasinya masih sangat jauh dari harapan. Walaupun demikian, keberadaan undang-undang itu sendiri adalah salah satu prestasi pemerintah era Jokowi yang patut diapresiasi.

Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas ini merupakan perubahan dari Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat. Dari segi penamaan saja Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tersebut terkesan diskriminatif, karena kaum difabel dinamai sebagai penyandang "cacat". Selain itu, undang-undang tersebut belum bisa mengatur secara menyeluruh terkait pemenuhan berbagai hak kaum difabel.

Dalam waktu dua tahun pasca Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 disahkan, sebenarnya sudah ada berbagai perubahan terkait pemenuhan berbagai hak untuk penyandang disabilitas. Walaupun memang belum menyeluruh, dan mungkin hanya terpusat di ibukota dan di berbagai pusat kota besar di Pulau Jawa saja. Contohnya seperti akses pelican cross, yang baru saja ada di Jakarta, dan pemberian kursi roda oleh Presiden Jokowi pada salah seorang anak difabel yang bernama Bulan Karunia Rudianti, pada bulan Maret tahun ini, setelah suratnya yang meminta kursi roda, viral di media sosial.

Untuk itu, sebenarnya tindakan Jokowi memberikan kursi roda tersebut merupakan implementasi pasal 23 huruf a, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016, tentang hak penyandang disabilitas atas mobilitas pribadi, dengan penyediaan alat bantu. Artinya pemberian kursi roda tersebut, adalah hak bagi seluruh kaum difabel yang membutuhkannya. Dengan demikian, seharusnya tindakan Jokowi ini menjadi contoh bagi pemimpin nasional dan daerah di Indonesia, supaya lebih giat untuk memenuhi hak-hak kaum difabel.

Pemerintahan era Jokowi, secara keseluruhan terlihat lebih dinamis daripada pemerintahan-pemerintahan era reformasi sebelumnya, mungkin karena orientasi Jokowi yang lebih mengutamakan kerja nyata, sehingga berbagai lembaga pemerintahan dari mulai eksekutif, legislatif, dan yudikatif, terpacu untuk bekerja giat mengimbangi Jokowi.

Keadilan bagi seluruh komponenbangsa.

Oleh karena itu, sebagai seorang ayah dari anak difabel (anak saya adalah penyandang Spinal Muscular Atrophy tipe 2) saya sangat berharap pada pemerintah pusat dan daerah untuk bekerja bersama rakyat memenuhi hak-hak kaum difabel, sebagai wujud implementasi dari Undang-Undang nomor 8 tahun 2016. Mudah-mudahan aksi-aksi penuh semangat dan pantang menyerah dari para atlet difabel dalam ajang Asian Para Games, cukup bisa menggerakkan hati nurani seluruh elemen bangsa dan negara Indonesia, bahwa kaum difabel adalah bagian dari bangsa Indonesia yang harus dipenuhi seluruh haknya.

Akhir kata, bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang memberikan penghargaan yang sangat besar atas kemanusiaan. Bahkan mungkin melebihi penghargaan dunia internasional terhadap kemanusiaan. Hal ini terlihat pada sila kedua Pancasila, yaitu "Kemanusiaan yang adil beradab", yang bermakna bahwa nilai kemanusiaan yang menjadi prinsip moral utama bangsa dan negara Indonesia adalah harus seiring sejalan dengan nilai keadilan dan keadaban. Hal ini seharusnya sudah cukup sebagai landasan bagi kita bangsa dan negara Indonesia untuk memperlihatkan pada dunia internasional bahwa kita mampu dan bisa untuk memenuhi hak seluruh komponen bangsa, baik yang mayoritas maupun minoritas, termasuk di dalamnya adalah hak-hak kaum difabel.