Saat Google mengumumkan Google Stadia semua orang yang berada di industri video game mungkin punya pemikiran serupa, yaitu "kapan ia menyerah dari persaingan sengit yang ada di industri hiburan video game". Bukan apa-apa, pemikiran itu timbul karena faktor-faktor reasonable alias masuk akal. Yang paling utama: industri video game sudah dikuasai tiga raksasa tidak tergoyahkan seperti Nintendo, Sony, dan Microsoft. Selain tiga nama itu tidak ada lagi yang punya pengaruh besar di manufaktur konsol video game. Nintendo dengan Switch/Lite, Sony lewat PlayStation 4/5, dan Microsoft melalui Xbox One/Series X|S adalah preman di pasar video game.

Tidak ada pemain lain yang berani mencoba meraup profit selain tiga konsol tadi (kecuali mungkin mobile phone gaming yang memang punya ceruk pasarnya sendiri). Bahkan perusahaan sebesar Apple sekalipun. Sehingga saat Google muncul dengan percaya diri lewat platform "video game di-streamingseperti Netflix", banyak analis industri video game menaikkan alis karena heran.

Akhirnya Google menyerah mengembangkan Google Stadia

Foto: YouTube

Streaming membutuhkan koneksi internet kuat dan stabil. Untuk faktor ini Google mungkin tidak perlu diragukan. Sebagai raksasa internet Google jelas punya kapasitas soal internet. Mesin pencari Google Search digunakan netizen 3,5 miliar kali per hari. Sehingga saat Google bilang "main video game bisa lewat internet, nggak perlu konsol tradisional seperti yang dijual Sony dkk"sebenarnya itu pernyataan berdasar kuat. Dengan memanfaatkan koneksi internet super cepat, aliran data video game cukup diproses di satu lokasi server dan client tinggal mengaksesnya bareng-bareng lewat internet. Ini skenario yang dibidik Google dengan Stadia mereka itu.

Yang luput dari kalkulasi Google (atau tidak dianggap sebagai penghalang serius) adalah: internet cepat hanya ada di negara maju dengan infrastruktur internet kuat. Dengan kata lain, potensi Stadia sebagai konsol video game di Amerika dengan di pedalaman Asia Tenggara jelas berbeda.

Di daerah pelosok Thailand atau Indonesia misalnya, PlayStation jelas akan lebih terjual ketimbang Stadia. Bagaimana Stadia bisa terjual di daerah yang internetnya "byar-pet" dengan kecepatan pas-pasan?

Walau mungkin Stadia juga tidak pernah memokuskan penjualan di daerah seperti itu, ini masuk akal juga. Namun dengan kata lain mereka menyempitkan/mengecilkan potensi pemasaran produk hanya di daerah yang internetnya baik saja. Secara marketing ini membatasi diri sendiri dari kemungkinan untung lebih besar dan banyak.

Akhirnya Google menyerah mengembangkan Google Stadia

Foto: GeekWire

Selain faktor internet, Google juga salah kalkulasi soal dukungan pengembang pihak ketiga atau3rd party untuk menciptakan games di Stadia. Mereka memang menciptakan team pengembangan game sendiri bernama Stadia Games and Entertainment (SG&E). Tapi dengan pengumuman baru-baru ini soal SG&E di mana mereka menutup divisi internal tersebut setelah kurang dari dua tahun beroperasi, merupakan pertanda suram masa depan Google Stadia di industri video game dunia saat ini.

GM Stadia Phil Harrison (pernah jadi eksekutif di Sony PlayStation) mengatakan kalau kini fokus Stadia adalah menjalin kerja sama dengan developer luar Google menciptakan game buat Stadia, sehingga secara teknis Google Stadia tidak mati atau berakhir sama sekali. Namun kemungkinan membuat game sendiri dan ekslusif buat Stadia sepertinya tidak lagi jadi tujuan maupun fokus Google ke depan.

Joost van Dreunen, pengarang buku One Up: Creativity, Competition, and the Global Business of Video Games yang juga pengajar NYU Stern School of Business mengatakan, Perusahaan IT payah soal video game. Pembuatan video game tidak ada dalam DNA perusahaan seperti ini. Selama 18 bulan terakhir Google terlihat mengejar sesuatu yang tidak jelas. Dan ini terbukti sekarang dengan ditutupnya divisi pengembangan game internal Google Stadia.

Akhirnya Google menyerah mengembangkan Google Stadia

Phil Harrison. Foto: VentureBeat

Ditutupnya divisi pengembangan internal Google Stadia menambah panjang daftar perusahaan teknologi yang keok di video game. Sebelumnya ada Microsoft yang menutup situs streaming game Mixerdan Amazon mengibarkan bendera putih dengan game in-house walau CEO Amazon (setelah Jeff Bezos turun tahta nanti) Andy Jassy mengatakan kalau Amazon belum menyerah mencoba berbisnis di video game. Entah berdasarkan apa keyakinan Jassy saat mengatakan itu, tapi kita lihat saja nanti.

Kamu punya Google Stadia? Kecil kemungkinan ada pemilik konsol video game streaming ini di Indonesia. Tapi kalaupun iya, kamu tidak perlu terlalu khawatir karena Stadia-mu masih bisa dipakai untuk bermain game 3rd party yang tersedia di Stadia. Tapi lupakan saja jika punya keinginan bermain game yang ekslusif Stadia-only. Karena itu tidak akan pernah terjadi lagi.