1. Home
  2. »
  3. Ragam
10 November 2025 23:30

Kenapa Gen Z memilih quiet quitting? Ini hubungannya dengan work-life balance

Quiet quitting bukan berarti seseorang berhenti bekerja atau kehilangan semangat terhadap pekerjaannya. Cisilia Perwita Setyorini
foto: freepik.com

Brilio.net - Generasi muda sekarang, khususnya Generation Z (lahir kira-kira antara 1997‑2012) sedang menciptakan cara baru dalam memandang kerja, bukan hanya soal kerja keras dan naik jabatan, tapi soal kerja agar hidup, bukan hidup agar kerja. Salah satu wujudnya adalah fenomena yang dikenal sebagai quiet quitting.

Apa itu quiet quitting? (Bekerja sesuai batas, hidup tetap seimbang)

Menurut penjelasan dari Visier, quiet quitting bukan berarti seseorang berhenti bekerja atau kehilangan semangat terhadap pekerjaannya. Sebaliknya, ini adalah cara karyawan untuk tetap menjalankan tanggung jawab utama sesuai dengan deskripsi pekerjaan tanpa merasa perlu mengambil tugas tambahan atau lembur terus-menerus.

BACA JUGA :
AI bikin kerjaan cepat atau malah bikin repot? Riset Harvard ini ungkap bahaya tersembunyi 'Workslop'


Mereka ingin menegaskan batas yang jelas antara urusan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Bagi banyak orang, bekerja terlalu keras tanpa jeda justru bisa membuat stres dan mengganggu keseimbangan hidup. Karena itu, quiet quitting menjadi bentuk kesadaran baru bahwa produktivitas tetap bisa dicapai tanpa harus mengorbankan waktu untuk diri sendiri.

Penelitian dari Masters in Minds juga menjelaskan bahwa fenomena ini muncul sebagai reaksi terhadap meningkatnya tekanan di dunia kerja modern. Budaya kerja yang menuntut kesibukan tanpa henti dan ekspektasi untuk selalu tampil sempurna sering kali membuat karyawan merasa lelah secara fisik maupun mental.

Akibatnya, banyak pekerja muda memilih untuk memperlambat langkah, fokus pada tugas utama, dan menjaga energi agar tidak mengalami burnout. Dengan cara ini, mereka tetap bisa memberikan hasil kerja yang baik sambil menjaga kesehatan mental dan kehidupan sosial di luar kantor.

BACA JUGA :
Pria ini spill pekerjaan 'serabutan' sebelum diterima CPNS, bukti hasil tidak mengkhianati usaha

Ciri-ciri quiet quitting

1. Hanya bekerja sesuai jam kantor dan tanggung jawab utama.

Orang yang menerapkan quiet quitting tetap melaksanakan pekerjaannya dengan baik, tetapi mereka hanya fokus pada tanggung jawab utama yang memang menjadi bagian dari pekerjaannya. Mereka bekerja sesuai jam kantor dan tidak merasa harus menambah waktu kerja hanya untuk terlihat rajin.

Sikap ini muncul karena mereka sadar bahwa bekerja berlebihan tanpa batas yang jelas bisa membuat stres dan mengganggu kehidupan pribadi. Dengan menjaga ritme kerja yang seimbang, mereka tetap bisa produktif tanpa merasa terbebani.

2. Tidak selalu siap di luar jam kerja demi impresi.

Berbeda dengan generasi sebelumnya yang sering menganggap kesiapan di luar jam kerja sebagai tanda dedikasi, generasi muda kini mulai menolak pola pikir tersebut. Mereka tidak ingin terus-menerus menerima pesan kerja, rapat mendadak, atau tugas tambahan di luar jam kantor hanya demi terlihat berkomitmen.

Bagi mereka, waktu setelah jam kerja adalah waktu pribadi yang harus dihormati. Sikap ini bukan berarti malas, melainkan bentuk kesadaran akan pentingnya batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi agar tidak mengalami kelelahan mental atau burnout.

3. Memprioritaskan kesehatan mental, waktu pribadi, dan kehidupan sosial.

Hal yang paling menonjol dari quiet quitting adalah keinginan untuk menjaga keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi. Banyak anak muda kini mulai memahami bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan prestasi di kantor.

Mereka ingin memiliki waktu untuk beristirahat, berkumpul dengan keluarga, bertemu teman, atau menekuni hobi yang membuat mereka bahagia. Dengan cara ini, mereka bisa tetap menjaga energi positif dan semangat dalam bekerja. Bagi mereka, hidup tidak hanya tentang karier, tetapi juga tentang menikmati setiap momen di luar pekerjaan.

Kenapa Gen Z banyak memilih cara ini?

foto: Freepik.com

1. Prioritas pada work life balance

Menurut penelitian dari Oxford Brookes University, sebagian besar Gen Z lebih menghargai fleksibilitas dan waktu pribadi dibanding kenaikan jabatan cepat. Mereka ingin tetap produktif di kantor tapi tetap punya waktu untuk keluarga, teman, dan diri sendiri. Ini berarti, Gen Z menolak budaya kerja selalu siap atau lebih lembur adalah loyal. Mereka menekankan keseimbangan hidup sebagai prioritas, bukan hanya produktivitas kerja.

2. Pengalaman kerja yang berubah

Menurut Business Insider, banyak Gen Z masuk dunia kerja saat pandemi, remote working, dan ketidakpastian ekonomi. Mereka menyadari bahwa kerja keras ekstra belum tentu dihargai, sehingga memilih bekerja secukupnya agar hidup tetap seimbang. Dengan kata lain, quiet quitting muncul sebagai cara melindungi diri sendiri dari stres berlebihan dan kelelahan kronis.

3. Nilai Kerja yang Berbeda

Ketidakpuasan kerja dan beban kerja berlebih (work overload) membuat Gen Z cenderung melakukan quiet quitting. Generasi ini menilai pekerjaan harus bermakna, bukan sekadar alat untuk naik jabatan atau gaji tinggi. Dengan kata lain, jika pekerjaan hanya menjadi rutinitas tanpa makna, Gen Z lebih memilih menetapkan batas atau bekerja tapi tetap hidup.

Hubungan quiet quitting dan work life balance

Menurut penelitian dari East and South Institute, terdapat hubungan yang kuat antara ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dengan munculnya perilaku quiet quitting. Ketika seseorang terlalu banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan hingga mengorbankan kesehatan mental, waktu pribadi, dan kehidupan sosial, kondisi tersebut dapat memicu kelelahan atau burnout.

Saat hal itu terjadi, banyak karyawan, terutama dari kalangan Gen Z, mulai menarik diri secara perlahan tanpa benar-benar meninggalkan pekerjaannya. Mereka tetap bekerja, tetapi hanya sebatas memenuhi tanggung jawab utama tanpa berusaha melakukan lebih.

Sebaliknya, jika seseorang mampu menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, ia cenderung lebih bahagia dan tetap produktif tanpa kehilangan semangat untuk hidup di luar pekerjaan. Studi lain dari e-journal UAC juga menjelaskan bahwa memperkuat keseimbangan kerja dan kehidupan dapat mengurangi kecenderungan untuk melakukan quiet quitting.

Artinya, semakin seseorang merasa hidupnya seimbang, semakin kecil kemungkinan ia untuk menarik diri dari keterlibatan penuh di dunia kerja. Hal ini menunjukkan bahwa menjaga work-life balance bukan hanya baik untuk kesehatan mental, tetapi juga berdampak positif terhadap motivasi dan kinerja seseorang di tempat kerja.

Kenapa penting dipahami?

1. Untuk Gen Z (Mengetahui bahwa quiet quitting bukan malas, tapi strategi menjaga kualitas hidup)

Penting untuk memahami fenomena quiet quitting karena hal ini sebenarnya mencerminkan perubahan besar dalam cara generasi muda melihat dunia kerja. Bagi Gen Z, quiet quitting bukan tanda kemalasan atau kurangnya semangat bekerja, melainkan strategi untuk menjaga kualitas hidup.

Mereka ingin tetap bisa menjalankan tanggung jawab di tempat kerja tanpa harus mengorbankan kesehatan mental, waktu beristirahat, atau hubungan pribadi. Dengan cara ini, mereka berusaha mencapai keseimbangan agar bisa tetap produktif sekaligus bahagia di luar pekerjaan.

2. Untuk perusahaan (Fenomena ini sinyal bahwa budaya kerja harus lebih fleksibel dan manusiawi)

Bagi perusahaan, fenomena ini bisa menjadi sinyal penting bahwa budaya kerja perlu disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Karyawan muda kini tidak lagi termotivasi hanya oleh gaji besar atau posisi tinggi, melainkan oleh lingkungan kerja yang lebih fleksibel, manusiawi, dan memberi ruang untuk berkembang tanpa tekanan berlebihan. Perusahaan yang mampu memahami nilai ini berpotensi memiliki tim yang lebih loyal, kreatif, dan sehat secara mental.

3. Untuk pembaca umum (Menunjukkan perubahan nilai di dunia kerja, pekerja tidak hanya hidup untuk kerja, tapi bekerja untuk hidup)

Sementara itu, bagi pembaca secara umum, quiet quitting menunjukkan bahwa dunia kerja sedang mengalami perubahan arah. Nilai-nilai seperti keseimbangan, kesehatan mental, dan kebahagiaan pribadi kini menjadi bagian penting dari kesuksesan seseorang. Pesan utamanya sederhana namun kuat, kita tidak hidup hanya untuk bekerja, melainkan bekerja agar bisa menjalani hidup yang lebih bermakna.

Penulis: Magang/Aji Setyawan

SHARE NOW
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags