1. Home
  2. ยป
  3. Creator
29 Oktober 2021 09:38

Up to date tak selalu baik, ini dampak berita bagi kesehatan mental

Berita tidak selalu berdampak baik bagi kesehatan mental kita. Rian Kusuma Dewi

Seberapa sering kita mengakses berita dalam sehari? Seberapa sering kita merasa bersalah saat mengetahui kita tidak cukup update dengan berita terkini? Pernahkah kita mengevaluasi bagaimana perasaan kita setelah mengakses berita?

Dengan mengakses berita kita memang dapat memperluas perspektif serta mengetahui apa yang terjadi di sekitar kita. Namun update dengan pemberitaan tidak selalu berdampak baik bagi kita. Yuk, mari diskusi bagaimana sisi lain berita yang kita akses selama ini.


Kita seakan perlu terus 'mengetahui'.

Sebagian besar dari kita merasa sangat perlu untuk terus menerus mengetahui berita terbaru. Bagi yang tidak berusaha untuk mengikuti pun, arus pemberitaan sangat sulit dimatikan. Namun apa yang selalu kita coba ikuti tersebut tidak jarang semakin dipenuhi oleh penggambaran mengejutkan dan komentar yang semakin negatifserta dipenuhi ketakutan. Itulah mengapa semakin banyak opini bahwa berita berdampak buruk bagi kesehatan mental.

Namun selalu 'tahu' tak selamanyabaik.

Beberapa penelitian bahkan menunjukkan berita apa yang kita konsumsi sehari-hari berdampak pada pemikiran, perilaku, dan emosi kita. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh American Psychological Association tahun 2017 menunjukkan meskipun sebagain besar individu dewasa (95 %) mengatakan mengikuti berita secara rutin, namun 56% di antaranya mengaku bahwa hal tersebut menyebabkan mereka stres dan sebanyak 72% percaya bahwa media terlalu membesar-besarkan hal yang tidak proporsional.

Selain itu dalam penelitian berjudul The psychological impact of negative TV news bulletins: The catastrophizing of personal worries, individu yang menonton materi berita negatif menunjukkan peningkatan suasana hati sedih dan cemas dibanding individu yang menonton materi berita positif atau netral setelah hanya 14 menit menonton berita ataupun membaca buletin. Wah, betapa memilah berita apa yang sebaiknya kita konsumsi juga sanagat penting, ya.

Arus pemberitaan di tengah pandemi.

Terutama beberapa bulan terakhir di mana siklus berita dibanjiri dengan berita tentang virus corona, mulai dari peningkatan kasus hingga pemberlakuan pembatasan social. Meskipun pemberitaa sangat penting bagi peningkatan pemahaman masyarakat tentang virus Corona dan pencegahannya, namun sebagian besar individu merasakan dampak pemberitaan tersebut bagi kesehatan mental mereka. Menurut survei yang dilakukan pada 2,031 individu di Amerika oleh Digital Third Coast, 68% responden mengatakan berita tersebut membuat mereka merasa cemas. Ditambahkan sebanyak 65% dan 67% responden masing-masing melaporkan merasa kewalahan dan jenuh dengan berita tersebut. Sebanyak 54% responden bahkan mengataka mengurangi konsumsi berita untuk menghindari perasaan ini.

Dalam Buku Panduan tentang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2021 bahkan menunjukkan terdapat kenaikan kasus depresi dan ansietas. Diketahui lebih dari 60% orang mengalami gejala depresi, lebih dari 40% mengalami disertai ide bunuh diri. Diperkirakan sekitar 32,6%-45% penduduk yang terkena COVID-19 mengalami gangguan depresi, sedangkan 10,5%-26,8% penyintas COVID-19 mengalami gangguan depresi.

Bagaimana berita memengaruhi kesehatan mental kita?

Sebagian media melaporkan krisis, bencana, atau cerita lain yang mungkin mengejutkan dan menarik pembaca dan pemirsa. Otak kita merespons berita stres atau negatif ini sebagai ancaman dan sistem saraf simpatik kita memberikan respon fight or flight yang menghasilkan hormon stres seperti hormon kortisol dan adrenalin. Stressor ini apabila berulang dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental kita di mana menyebabkan beberapa gejala, di antaranya sakit kepala, kelelahan, kecemasan, depresi, dan kesulitan tidur.

Ditambahkan, hormon kortisol sendiri telah lama dikaitkan dengan peradangan yang terkait dengan rheumatoid arthritis, penyakit kardiovaskular, dan masalah kesehatan serius lainnya.

Bagaimana kita dapat memilah apa yang perlu kita 'ketahui'?

Beberapa cara dapat kita coba terapkan untuk lebih sadar dengan berita apa yang kita konsumsi di antaranya dengan cara sebagai berikut.

1. Membatasi waktu untuk akses berita setiap harinya.

Stop untuk mengakses berita secara terus menerus, seperti menyalakan berita sambil bekerja. Kita dapat menjadwalkan mungkin 30 menit per hari total untuk memperoleh paparan berita.

2. Menjadwalkan waktu khawatir.

Setelah mendapat paparan berita dan mungkin merasakan adanya kekhawtiran, kita perlu memberikan waktu untuk berdiam sejenak dan mengakui kekhawatiran tersebut, relaksasi, dan diharapkan selanjutnya kita dapat beralih pada hal lain selanjutnya.

3. Ukur bagaimana perasaan sebelum dan sesudah menonton berita.

Apakah merasa terinformasi atau sebaliknya malah merasa panik, takut, hingga pesimis? Dengan begini kita akan lebih aware bagaimana berita bagi keadaan emosional kita.

4. Memperoleh akses berita dari laman terpercaya.

Dengan mengakses pada laman terpercaya harapannya penyajian berita dilakukan berdasarkan penelitian dan memberikan perspektif yang seimbang.

5. Memperoleh ringkasan berita dari teman, keluarga atau individu terdekat.

Jika mengakses berita memicu gejala kecemasan berlebih, kita bisa kok meminta individu terdekat untuk menyaring berita dan mengabarkan pada kita update terbaru beberapa hari sekali.

6. Melakukan gaya hidup sehat setelah menonton berita, seperti berjalan-jalan atau mengerjakan hobi. Melakukan beberapa aktifitas sehat tersebut harapannya data membantu memerangi perasaan negative seperti, cemas, takut dan khawatir.

(brl/red)

Source:

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
MOST POPULAR
Today Tags