1. Home
  2. ยป
  3. Creator
25 Agustus 2019 14:40

Kenali 7 bibit intoleransi dalam diri individu

Mengenali ciri-ciri potensial tindakan intoleransi. Sri Wijayanti Universitas Pembangunan Jaya
Gambar oleh Vytalis Arnoldus dari Pixabay

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki keanekaragaman, baik dari segi bahasa, suku, budaya dan juga adat. Akibatnya, isu SARA (Suku, Agama, dan Ras) menjadi isu yang paling berpotensi menimbulkan perpecahan, kerusuhan, serta ketidaknyamanan dalam diri setiap individu.

Maka, toleransi kemudian menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki setiap individu sebagai bagian dari masyarakat. Namun demikian, pertama yang harus kita pahami, toleransi merupakan sebuah tindakan, bukan pikiran apalagi aturan.


Toleransi secara sederhana dipahami sebagai tindakan yang disengaja seorang individu dengan berprinsip menahan diri dari campur tangan (menentang) perilaku mereka dalam situasi keragaman, sekalipun individu tersebut percaya dia memiliki kekuatan untuk mengganggu. Setidaknya, dalam istilah toleransi ada dua hal kunci, yakni kesengajaan dan tidak mengganggu.

Sementara kebalikan dari toleransi adalah intoleransi yang setidaknya memiliki 3 ciri khusus, yakni ketidakmampuan menahan diri tidak suka kepada orang lain, sikap mencampuri dan atau menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan sengaja mengganggu orang lain. Untuk itu, marilah kita kenali 7 bibit intoleransi yang ada dalam diri individu.

1. Tidak introspeksi mengenali diri sendiri.

Kadang kala seseorang tidak bisa bertoleransi karena ia tidak introspeksi pada apa yang dimilikinya. Ia dengan mudahnya mengomentari orang lain atau merasa hal buruk itu terdapat pada orang lain. Akibatnya, ia tidak dapat memberi batas toleransi yang baik. Misalnya, kamu bisa saja intoleran terhadap orang lain dan menuntut hal A, B dan banyak lagi, padahal orang lain sudah bekerja dan menunjukkan usaha terbaik mereka untuk kamu.

Coba introspeksi dirimu, apakah kamu juga sudah sesempurna yang diharapkan. Sebaiknya, mulai saat ini kenali dulu diri kamu, bisa jadi kamu sendiri bukan termasuk orang yang cukup baik atau benar-benar baik. Jika kamu bisa jujur menilai dirimu, pikiran kamu akan berubah menjadi positif dalam memandang orang lain, sehingga tumbuh rasa toleransi dalam diri kamu.

2. Tidak menerima perbedaan.

Perbedaan memang ada dan akan tetap selalu ada. Jadi jika kita bisa memahami bahwa Tuhan menciptakan manusia secara berbeda, pasti kita akan mudah membangun toleransi dalam diri kita. Manusia hidup dengan cara yang berbeda, jelas itu di luar kuasa kita, dan kita tidak bisa membentuk dan memaksakan mereka sama.

Namun, dalam praktiknya, banyak orang yang memaksakan kehendak mereka pada orang lain. Padahal batasan dan limit setiap manusia jelas berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksa apa yang kita bisa kepada orang lain, begitu pun sebaliknya. Melalui toleransi, kita bisa memahami di mana batas orang lain, dan tidak memaksakannya untuk sama dengan kita.

3. Tidak memiliki banyak teman.

Sering kali intoleransi dibangun karena seseorang tidak mengenal atau mengetahui banyak hal. Kita bisa memperbanyak teman yang memiliki karakter berbeda. Sehingga adanya mereka dengan beragam karakter bisa membuat kita lebih mengerti seperti apa pemikiran orang lain. Seperti apa prinsip dan cara pandang orang lain, sehingga kita bisa saling berdiskusi, tidak penting untuk mencari siapa yang benar atau siapa yang salah. Namun yang penting, dengan banyak teman dari berbagai karakter, cara pandang kita semakin luas, dan tidak takut prinsip atau dunia kita akan terganggu.

4. Keengganan mempelajari lingkungan sekitar.

Enggan mempelajari lingkungan sekitar, padahal pada umumnya lingkungan merupakan refleksi yang jelas dan nyata dari suatu kejadian, tanpa adanya paksaan. Misalnya, kita hidup dalam lingkungan yang penuh dengan orang yang berasal dari Sumatra yang kalau berbicara menggunakan suara yang keras. Kita tidak boleh mencoba mengubah total apa yang ada atau bagaimana mereka hidup. Karena bila kita melakukannya, maka titik toleransi kita akan dipertanyakan dan justru kita yang harus pergi dari tempat tersebut. Begitulah lingkungan mengajarkan toleransi pada kita.

5. Tidak berpikir bijaksana.

Terkadang, ada ketakutan atau kekhawatiran dari sebagian orang bahwa dengan adanya toleransi, maka apa yang mereka percaya akan terganggu dan apapun prinsip mereka akan terhapus dan terpaksa mengikuti tingkat toleransi tertinggi. Anggapan tersebut tidak benar, karena menghargai bukan berarti mengikuti. Kita bisa hidup dengan cara kita masing-masing, saling menghargai, tanpa menganggu dan menghasut orang lain. Itulah yang dimaksud dengan berpikir secara bijaksana.

Sebaliknya, mereka yang tidak bisa toleransi, biasanya karena mereka berpikiran sempit. Mereka tidak bisa menerima perbedaan apapun, meski keanekaragaman dalam bentuk sederhana. Padahal, toleransi tidak berarti memaksa kita untuk paham bahkan mengikutinya. Namun cukup menghargai prinsip masing-masing, sehingga kita akan tetap nyaman dan juga merasa senang dengan toleransi.

6. Kebiasaan menghasut.

Kebiasaan yang sering kali terjadi di lingkungan masyarakat dengan alasan menerapkan prinsip toleransi yaitu sekelompok orang menghasut pihak yang berseberangan dengan mereka. Kita harus bijaksana membedakan mana yang toleransi, mana yang menegakkan prinsip dan sesuai dengan aturan, serta mana yang sifatnya menghasut hal yang tidak ada buktinya. Jangan karena kita ingin menunjukkan sesuatu yang berkaitan dengan toleransi dan ingin dianggap benar, maka kita menghasut orang lain yang berseberangan dengan kita.

7. Tidak membuat batasan jelas.

Kita harus bisa membuat batasan yang jelas, mengingat banyak orang yang juga bisa mempengaruhi kita dengan sikap atau hal buruk. Misalnya, kita memiliki teman di tempat kerja yang senang pergi ke tempat hiburan malam, batas toleransi kita akan diuji bilamana kita mencoba menasehati dan membujuknya. Jika kita tidak berhasil, kita cukup diam sepanjang hal tersebut tidak mengganggu pekerjaan dan profesionalitas orang tersebut. Mengingat itu adalah hal pribadi dan bukan menjadi urusan kita. Namun, kita tetap harus membuat batasan yang jelas, diam bukan berarti mengizinkan orang lain menghasut kita dan bisa mengajak kita melakukan hal yang buruk. Sering kali, banyak orang salah paham karena sudah diam, maka mereka menganggap kita merupakan orang yang berada pada kubu yang sama atau bagian yang sama dengan mereka. Jika hal tersebut terjadi, mainkan batasan kita dan jelaskan bahwa kita hanya menghormati pilihan mereka.

Jelaslah sudah bahwa toleransi merupakan hal yang penting, sehingga kita harus bisa menerapkan toleransi di berbagai lingkungan dan keadaan. Sering kali untuk memahami apa yang orang lain rasakan, kita harus merasakannya terlebih dahulu untuk bisa mengerti. Jika tidak, maka kita akan menganggap bahwa hal tersebut sepele adanya.

Terkait dengan masalah toleransi, ketika kita menemukan pandangan yang berbeda, tidak masalah untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Mencari tahu mengapa mereka berpikiran seperti itu dan mencari tahu apakah yang mereka pikirkan benar, sehingga bisa ditarik kesimpulan seperti itu.

Jika sudah bisa menyimpulkan, apakah toleransi kita sudah cukup baik terhadap mereka atau belum. Dengan belajar khususnya belajar mengenai orang lain, maka toleransi akan mudah diterapkan. Prinsip utamanya, ketika kita menghargai orang lain, maka orang lain akan melakukan hal yang sama.

(brl/red)

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
MOST POPULAR
Today Tags