1. Home
  2. ยป
  3. Creator
30 September 2018 08:55

Cara lain mengenang Pahlawan Nasional blasteran, Pierre A. Tendean

Ternyata ada cara lain untuk mengenang Pierre Tendean, selain membacanya dari buku pelajaran! Human Lover

Siapa sih yang tidak kenal dengan Pierre Tendean? Setiap tahun, menjelang 30 September, nama Pierre Tendean selalu dibicarakan. Biasanya guru sejarahlah yang paling semangat menceritakan riwayat hidup Pierre Tendean dalam kisah kelam di tahun 1965.

Pierre Andries Tendean lahir di Batavia, 21 Februari 1939. Pahlawan blasteran ini gugur ketika dirinya menjabat sebagai ajudan Jenderal A. H. Nasution di usia 26 tahun. Wow, usia yang masih terbilang muda untuk seorang yang kemudian disemati gelar Pahlawan Nasional.


Kapten (anumerta) Pierre Tendean adalah pribadi yang ramah, sederhana, dan humoris. Kisah hidupnya tidak banyak dikisahkan oleh orang-orang, sebab kiprahnya dalam membela negeri masih seumur jagung. Kiprahnya dalam membela ibu pertiwi berbeda dengan keenam jenderal yang turut gugur dalam tragedi Jumat pagi di Lubang Buaya tersebut. Enam jenderal tersebut adalah Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen Pandjaitan, dan Mayjen Sutoyo.

Berbicara mengenai pahlawan berarti berbicara mengenai cara mengenang, menghargai, dan meneladani hal positif dari sosok yang luar biasa. Jika selama ini kita hanya dapat menghayati jasa pahlawan melalui buku-buku yang terkesan kaku dan formal, tahukah kamu ada sebuah buku merah yang berisi puisi-puisi untuk mengenang sosok ganteng dari Bumi Panorama, Pierre Tendean?

Buku merah tersebut berjudul "Pierre, Kenangan dalam Sajak Rindu". Antologi puisi itu ditulis oleh Iqbal Maulana Suryana, Nyiayu Fahrizia FaraDesy, dan Retno Anisa, tiga orang WNI yang tinggal di tiga negara berbeda. Maksud dari keberadaan karya sastra tersebut semata-mata untuk menambah kekayaan karya tulis di Indonesia.

Penasaran dengan isi buku merah tersebut? Berikut ini tersaji kutipan puisi dari buku Pierre!


"Tidak ada lagi sentuhmu pada setiap senapan
Tidak ada lagi genggamanmu pada panji negeri
Tidak adakah penghibur selain dirimu
Wahai kapten revolusi?"
- hal 12

"Duhai Kapten
Hanya dengan bait-bait nan pilu
Serta untaian doa di setiap sujudku
Kuharapkan kehadiranmu
Walaupun hanya dalam angan semu"
- hal 23

"Di hari itu tiada suara yang mirip denganmu
Yang selalu kami dengar selalu bersambut haru
Kau tidak pulang
Di rumah Bunda telah mengelus dada
Ksatria tidak pulang ke istana saat Bunda bertambah usia"
- hal 46

"Mata terpejam mulut terkatup
Terisak tangis menahan sedu
Dari kejauhan terdengar sayup
'Gugur Bunga' mengalun pilu"
- hal 65

Bagaimana?

Sudahkah merasakan pedih ditinggal pahlawan di medan bakti?

(brl/red)

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
MOST POPULAR
Today Tags