Brilio.net - Sembilan tahun lalu menjadi hari yang tragis bagi warga Bantul, DI Yogyakarta dan sekitarnya. 27 Mei 2006 pagi terjadi gempa 5,9 SR sekitar 57 detik. Korban jiwa saat itu pun lebih dari 6.000 orang.

Lokasi gempa menurut Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia terjadi pada koordinat 8,007 LS dan 110,286 BT dengan kedalaman 17,1 km. Sedangkan menurut BMG, posisi gempa terletak di koordinat 8,26 LS dan 110,31 BT dengan kedalaman 33 km.

Untuk mengetahui bagaimana keadaan warga Bantul saat terjadi gempa, berikut pemaparan Ahmad Chazimul Asror (23), warga desa Palbapang, Bantul yang saat itu merasakan dan menyaksikan terjadinya gempa Bantul 9 tahun silam.

Jam 05.56 saya bersiap mau mengantarkan adik yang duduk di kelas 6 SD. Saat itu saya libur sekolah karena sudah usai Ujian Nasional SMP. Saat saya mau sarapan, tiba-tiba ada getaran dan suara gludug-gludug.

Saking besarnya gempa, kaki saya sulit untuk berlari. Orang-orang yang di jalan sedang naik motor juga banyak yang terjatuh karena getaran yang begitu kuat. Saat adik saya di luar, ia melihat tetangga yang seharusnya sudah selamat, tiba-tiba masuk ke dalam rumah lagi karena teringat anaknya yang balita masih ada di dalam rumah. Tapi nahas, rumahnya runtuh ketika ia dan anaknya masih di dalam rumah. Saat dievakuasi, tetangga saya itu ditemukan dalam keadaan memeluk anaknya. Saat gempa terjadi, ada juga tetangga saya yang saat itu berada di kamar mandi keluar tanpa busana.

Rumah yang ada di samping, belakang, dan depan rumah saya runtuh, hanya sedikit rumah yang masih utuh saat itu. Alhamdulillah rumah saya dan keluarga tidak runtuh. Mungkin karena saat itu rumah baru jadi konstruksinya masih kuat. Meski tak runtuh, dinding rumah saya tetap retak-retak. Beberapa tetangga saya pun ada yang meninggal karena tertimpa reruntuhan rumah. Ada juga yang meninggalnya saat perjalanan ke rumah sakit. Ada juga tetangga saya yang lumpuh total akibat gempa tersebut. Hingga kini ia menggunakan kursi roda untuk beraktivitas.

Warga saat itu berduyun-duyun keluar rumah. Jalanan ramai dengan warga. Beberapa saat kemudian saya diminta ayah pergi ke rumah lama saya yang berjarak 1 km dari rumah baru untuk mengambil obat-obatan yang ada di kotak P3K. Dalam perjalanan saya melihat banyak rumah di kanan kiri jalan yang runtuh. Rumah saya yang lama ternyata juga tak runtuh. Saat saya kembali ke rumah yang baru, jalan semakin dipadati manusia, raut panik sangat terpancar dari wajah mereka.

Pukul 07.00 wib, berhembus isu adanya tsunami dari arah selatan. Warga yang ada di jalanan pun semakin panik. "Banyu..banyu...banyu soko kidul, banyune wes tekan perempatan Palbapang," teriakan seseorang itu membuat gaduh suasana. Warga pun berbondong-bondong menyelamatkan diri ke utara. Mereka berduyun-duyun lari ke daerah yang posisinya lebih tinggi. Ketika isu tsunami datang, entah inisiatif dari mana, mayat yang saat itu sudah dievakuasi diikat pada pohon besar oleh keluarganya. Mungkin harapannya agar mayat tersebut tidak hanyut terbawa tsunami.

Saya dan keluarga beserta beberapa tetangga menyelamatkan diri mencari tempat yang aman. Menggunakan mobil carry, kami menuju ke arah utara. Di jalan raya ternyata kegelisahan semakin menjadi, jalanan ramai dengan orang-orang yang ingin menyelamatkan diri. Tapi di jalan raya malah terjadi kekisruhan. Saya dan orang-orang yang tinggal di daerah selatan mencoba menyelamatkan diri menuju arah utara, sementara orang-orang daerah utara malah ke selatan. Ternyata di daerah utara berembus kabar kalau gempa terjadi karena Gunung Merapi yang saat itu berstatus siaga mau meletus.

Sekitar pukul 08.00 isu tsunami sudah mereda. Warga mulai kembali ke asal masing-masing. Selang beberapa saat terjadi gempa kedua yang cukup besar. Gempa susulan yang masih sering terjadi hingga malam tiba membuat warga tak berani berada di dalam rumah. Apalagi setelah gempa listrik mati, informasi saat itu hanya bisa didapatkan dari radio. Orang-orang pun tinggal di tenda darurat buatan sendiri.

Hingga satu mingga pascagempa, banyak orang yang masih tinggal di tenda darurat. Rumah-rumah yang tak runtuh kosong dari penghuninya. Mereka kebanyakan masih trauma dengan kejadian itu. Listrik yang mati baru hidup pada hari ke tujuh. Bantuan dalam berbagai bentuk pun terus berdatangan saat itu.